▪︎ 8. Memulai Aksi ▪︎

33 18 2
                                    

Alhamdulillah bisa up, happy reading ya~





***

Hari ini, aku sebenarnya ada kuliah. Ada tugas pula yang harus dikumpulkan. Namun, sepertinya keberuntungan sedang berpihak padaku, di mana sang dosen yang mengajar hari ini tidak dapat  masuk karena sedang ada acara. Dan tentu saja, tugas yang diberikan minggu lalu akan dikumpulkan siang nanti sehabis solat zuhur.

Aku tak hentinya bersyukur karena hal ini. Tentu ini memudahkanku untuk menemui bang Budi, si ketua HMPS Biologi yang cukup akrab denganku. Sebenarnya aku tertarik untuk meminta bantuan pada bang Sio dan bang Jihad, tetapi mereka lebih sulit ditemui di area kampus. Tidak seperti bang Budi yang selalu terlihat di kampus, yang mungkin sekedar mengurus sesuatu berkaitan dengan magangnya. Terbukti bahwa sekarang laki-laki semester 5 itu baru saja keluar dari ruang akademik.

Lagi-lagi aku merasa hari ini adalah hari keberuntunganku. Aku bergegas menghampirinya, sebelum ia jauh dari pandanganku.

"Bang Budi!" seruku memanggilnya ketika ia hampir berbelok di pelataran gedung A.

"Eh, Agusta. Ada apa?" tanyanya begitu aku sampai di hadapannya.

"Anu Bang, saya mau minta tolong sesuatu."

Alis laki-laki dua tahun lebih tua dariku itu terangkat. Menatapku dengan raut penuh tanya—itu jika aku tak salah menebak.

"Bantu apa ya? Kalo berat mah, saya gak bisa. Kamu tau kan kalo saya gak melulu ke kampus," katanya yang terkesan ingin menolak, bahkan sebelum aku mengatakan tujuanku.

Aku tersenyum, berusaha untuk tidak tersinggung dengan perkataannya. "Gini Bang, saya mau minta tolong untuk kasih saya arsip berita aja. Cuma itu."

"Berita apa?"

Aku meringis, tak enak mengatakannya di sini. Aku melirik ke sana ke mari, memastikan tidak ada orang selain kami di koridor menuju pintu depan gedung A tersebut.

"Arsip berita kematian mahasiswa yang diduga bundir," bisikku kembali menolehkan kepala, takut-takut ada yang memperhatikan kami.

"Buat apa? Lagian kamu tau dari mana kalo saya punya arsip berita?" Sorot mata bang Budi terlihat tidak suka membahas pekerjaannya. Padahal dari cerita bang Sio yang kudengar, bahwa bang Budi sangat mencintai pekerjaannya sebagai jurnalis pada semester sebelumnya.

"Saya mau jelasin sesuatu, tapi boleh ndak kita bahas di tempat lain aja?" tawarku berharap bang Budi mengiyakan. Berabe jika ia menolak, maka pilihan selanjutnya, aku harus membujuk bang Sio dan bang Jihad.

Bang Budi menghela napas pelan, lantas mengangguk. Jelas sekali terlihat terpaksa.

Akhirnya aku dan bang Budi memilih duduk di kursi bundar samping gedung C. Ck, lagi-lagi tempat ini. Tanpa aku menoleh ke arah semak itu pun, aku bisa merasakan hawa tak enak saat melewatinya tadi. Dan benar saja, sosok pria tua itu setia berada di sana.

Aku segera memalingkan wajah begitu bang Budi menepuk pundakku. Hampir saja aku melakukan kontak mata dengan sosok tersebut.

"Jadi?"

Aku tersenyum sekilas. Memperbaiki posisi duduk, kini tepat menghadap bang Budi. Setelah dirasa aman, aku mulai menceritakan diri bahwa butuh ia benar-benar butuh akan arsip itu. Namun, memang ternyata membujuk manusia itu lebih sulit daripada harus berhadapan dengan hantu. Hanya saja, berhadapan dengan hantu maka harus sudah siap sedia mental yang kuat. Terlebih lagi jika orang itu indigo atau mempunyai indera keenam, maka ia tidak akan melewatkannya.

"Saya gak buka jasa untuk alasan butuh doang, Gus. Karena ini arsip penting, bukan punya papuk-mu ataupun papuk saya!" ucap bang Budi dengan ekspresi kesal yang kentara.

Entah apa yang membuatnya begitu kesal, aku tidak tau. Namun, bisa kupastikan bahwa yang membuatnya kesal adalah pembahasan ini.

"Gimana ya ngasih taunya?" beoku merasa bingung sendiri.

Sebenarnya aku bisa saja menceritakan bahwa aku seorang indigo, tetapi aku merasa enggan. Takut bang Budi beranggapan bahwa aku dikira aneh.

"Jadi apa?"

Aku menyengir, berusaha menetralkan suasana. Sementara wajah bang Budi sudah berubah masam. Akan tetapi, tak membuatku gentar untuk mengatakan keinginanku.

"Abang tau kasus Gio?" tanyaku pelan.

Tepat seperti dugaan, bang Budi melebarkan matanya begitu pertanyaan itu keluar dari mulutku.

"Dari mana kamu tau?" tanyanya dengan penuh selidik. Seolah tengah mencari-cari informasi dari wajahku yang hanya tersenyum tipis.

"Kamu tau yang kamu sebut itu siapa?"

Aku mengangkat bahu, entahlah memangnya Gio siapa? Hanya mahasiswa biologi yang hidupnya berakhir mengenaskan bukan?

"Dia sahabat saya."

Kali ini aku yang terbelalak mendengar tiga kata yang meluncur dari bibir seniorku itu. Apa katanya? Sahabat?

"Kok bisa?" Mau tak mau aku menyuarakan keherananku.

Bang Budi mengangguk, "Saya gak tau alasan dia mengakhiri hidup seperti itu. Saya syok pas tau berita itu dari pihak keluarganya. Apalagi posisi saya waktu itu sangat jauh untuk sekedar ketemu sama dia."

Aku terdiam. Entah kenapa suasananya jadi berubah mellow. Padahal beberapa menit yang tadi, laki-laki di hadapanku ini masih menatapku dengan kesal.

"Dan yang paling menyakitkannta, kasusnya ditutup tanpa diusut tuntas. Itu buat saya sedih dan gak terima, tapi saya gak bisa apa-apa. Karena pihak keluarga juga gak bisa berbuat banyak."

"Maka dari itu Bang, saya butuh data arsip tersebut. Saya berencana buka kasus Gio itu."

Bang Budi menaikkan sebelah alisnya, menatapku lurus. "Kamu udah tanya keluarganya? Untuk buka kasus yang udah ditutup, harus ada persetujuan dari keluarga korban yang bersangkutan," ucapnya kemudian.

"Itu ... bisa ndak Bang Budi bantu saya untuk yang satu itu?"

***


Penunggu Kamar Pojok Asrama Where stories live. Discover now