▪︎ 11. Pembahasan Rumit ▪︎

24 15 1
                                    

Yuhuu tengah malam😭

Kesannya kyk bnr" pengen ngerokok ya weeh👀

Btw happy reading~



***

Jumat pagi ini, aku tidak ada kuliah. Namun, aku sengaja datang ke kampus karena ada janji temu dengan bang Budi. Katanya, ia ingin membahas isi protesanku tentang arsip berita yang tidak lengkap itu. Dan kini aku menunggu laki-laki berlesung itu di undakan mushola FKIP.

Sembari menunggu, aku mengecek ponsel yang penuh dengan notifikasi dari kelompok mata kuliah Bahasa Inggris Untuk Biologi. Siapa lagi penghuninya jika bukan Argan dan Heni.

Aku membuka room-chat. Aku menipiskan bibir membaca rentetan pesan yang dikirim oleh Heni.

Grup BIUB

Heni_Bio'20
|Tolong lah ya kalian ini, kalo punya tugas tuh yang niat dikit
|@Argan @Agusta anjir cari referensi dong tentang apparatus
|Ya kali aku doang yg nyari heh
|Tanggung jawablah sama tugas sendiri

Argan_Bio'20
|Iya Heni yang inges, nanti kita cari
|Sekarang lagi sibuk ngurus HMPS

Heni_Bio'20
|Heh itu nanti bisa diurus, lagian kamu  bukan anggota inti HMPS
|MASIH MABA JUGA KAMU XETAN

Argan_Bio'20
|Biase bae, pangm sak ngegas
|Udah sy bilang gak mau ngerjain? Gak kan? Nanti tenang sy sama Gusta bakal kerjain
|Kamu terima beres bae wah

Heni_Bio'20
|Serah

Aku menggeleng pelan setelah membacanya. Aku segera menghubungi Argan agar tak meladeni Heni yang masih PMS.

"Apa Gus? Kamu juga mau bahas tugas?"

Suara ketus Argan menyapa indera pendengaranku. Aku meringis pelan, tetapi tak ayal segera menyahuti.

"Bukan, tapi Heni lagi PMS. Jadi gak usah diladeni gitu lah. Kamu tau kan kalo cewek PMS itu bakal gimana?"

"Kamu pacarnya, Gus?"

Sontak aku tersedak mendengar kalimat di seberangku, padahal sedang tidak makan apa pun. Bisa-bisanya juga ia mengira bahwa aku punya hubungan khusus dengan Heni. Itu membuat mood-ku turun untuk menasihatinya. Niat hati berbuat baik, malah kebalikannya.

"Kamu diem artinya iya, Gus. Kata ibu saya, kalo orang diem pas ditanya artinya iya."

Aku mengumpat tanpa suara mendengarnya. Entah kenapa aku jadi menyesal menghubunginya untuk meluruskan. Namun, aku segera mengucap istigfar karena sadar sedang berada di mushola. Aku menghela napas pelan, sebelum akhirnya menjawab, "Gini ya, Gan, saya cuma meluruskan biar kalian gak ribut di grup. Kamu malah aneh-aneh ngira saya pacaran."

"Ya gimana, habisnya kalian nempel kek perangko. Ke mana-mana berdua. Itu kemarin juga saya lihat kamu anter dia pulang."

Aku menipiskan bibir. Ternyata ada juga yang melihat aku mengantar Heni. Padahal aku sudah mewanti-wanti supaya tidak ada yang melihat, agar tidak terjadi kesalahpahaman. Namun, nyatanya Argan menjadi salah satu saksinya.

"Itu ada alasannya. Dia ... " Aku menggantung kalimatku seraya berpikir alasan apa yang tepat untuk menyanggah hubungan itu.

"Kenapa?"

"PMS." Aku menoleh ke arah datangnya bang Budi. "Gan, nanti infoin lagi tentang kerja kelompok ini. Saya masih ada urusan."

Setelah mengatakan itu, aku segera menutup sambungan. Tak peduli jika Argan di seberang sana menggerutu.

Aku segera berdiri, menyambut bang Budi yang memasuki halaman mushola. Hari ini lelaki itu menggunakan jas almamater universitas kebanggannya. Lengkap dengan tas hitam yang tergantung pada punggungnya.

"Gimana, Gus?" tanyanya seraya  duduk di undakan. Aku meneladaninya, kembali duduk di tempat semula.

"Gini Bang, saya lihat di arsip itu gak ada yang bahas tentang kasus di asrama. Tapi saya ada nemu file aneh di bagian paling bawah. Itu ... rahasia?" jelasku yang telah mengorek isi arsip yang diberikan bang Budi itu.

Tapi kuduga, bang Budi mengangguk. "Bener. Itu file rahasia. File yang bikin kamu berubah pikiran untuk nolong Gio."

Aku mengernyit, "Maksud side gimana? Coba jelasin saya detailnya," pintaku tak paham akan kalimatnya yang terkesan ambigu.

"Kamu gak bakal percaya. Seperti yang saya bilang, ingatan hantu itu tidak selamanya benar," ucap bang Budi atas pertanyaanku.

"Tapi Bang, ini sahabat side loh. Masa gak mau bantuin?" Aku merasa aneh saat bang Budi berkata seperti demikian.

Bang Budi menggeleng, "Bukan gak mau, Gus. Tapi konsekuensinya berat. Apa kamu mau lanjutin kasus ini dan mendatangkan banyak saksi?"

Aku terdiam. Jikalau pun nanti kasusnya berhasil dibuka, bagaimana bisa aku tau siapa saja orang yang bisa menjadi saksi? Aku tidak mungkin mengatakan bahwa aku dapat dari arwah yang gentayangan.

"Kalo kamu kekeuh, coba usaha dulu buka file itu. Saya yang bakal tanggung konsekuensinya."

"Saya gak paham, Bang." Aku menggeleng, benar-benar tak paham dengan arah pembicaraan bang Budi.

"Membuka file itu sama dengan mati, Gus. Harganya besar, lebih besar ketimbang nyawamu sendiri."

"Jangan nakutin dong, Bang!"

Bang Budi menggeleng pelan, "Saya gak bercanda, Gus."

Sebenarnya satu sisi aku setuju dengan bang Budi. Sebab ada benarnya bahwa 'sesuatu' itu datang mengganggu. Namun, di sisi lain aku merasa keberatan saat bang Budi terkesan menyalahkan sosok-sosok itu. Padahal tidak semuanya jahat.

"Jadi gimana, Bang?" tanyaku merasa kerja sama ini menggantung. Tidak menemukan ujungnya.

"Nanti aja, Gus. Saya ikut pusing karena protesanmu." Bang Budi menghela pelan, ia sepertinya sama bingungnya denganku.

Aku mengalihkan pandanganku, mencoba mengenyahkan pikiranku sejenak tentang hal yang kami bahas ini. Namun, sepertinya keberuntungan tidak berpihak padaku kali ini.

"Kamu bisa lihat aku?"

Aku meneguk ludah dalam diam. Entah bagaimana bisa melakukan kontak mata dengan sosok perempuan berpakaian hitam putih itu. Buru-buru mengalihkan pandanganku, kini menatap bang Budi yang mematapku heran.

"Kenapa, Gus?"

Aku menggeleng, "Kayaknya saya balik duluan deh, Bang."

"Oh, iya, saya juga berniat balik ini." Bang Budi ikut bangkit, lantas bersama-sama kami meninggalkan halaman mushola.

"Hati-hati, aura pekat ..."

Aku mengernyit pada sosok yang tiba-tiba menghilang itu. Apa maksudnya?

***








Penunggu Kamar Pojok Asrama Where stories live. Discover now