▪︎ 7. Kesepakatan ▪︎

38 20 4
                                    

Happy reading~






***

Malam ini, sehabis isya, aku sudah duduk di ranjang keras asrama. Menunggu kemunculan Gio yang entah kapan. Aku berusaha berpikir positif bahwa Gio akan muncul malam ini. Entahlah, aku bahkan tidak memikirkan tugasku yang deadline-nya besok pagi. Sebab aku sudah teramat penasaran dengan hal ini. Ini lebih menyiksa daripada sentuhan fisik dan kikisan mental yang dilakukan Gio ketika aku baru menempati kamar ini.

Aku menggerakkan kepala, melihat sobekan kertas kusam dengan bercak kemerahan yang aku yakini itu adakah darah. Namun, sepertinya aku perlu bertanya pada Gio, dari mana ia bisa mendapat darah di saat ia tak bisa ke mana-mana kecuali tetap di kamar ini.

Entah mengapa malam ini rasanya sama seperti pertama kali aku menapaki asrama ini. Apakah benar Gio memang akan muncul setelah tiga hari ini ia tak menampakkan dirinya sama sekali?

Brak

Aku meneguk ludah, jantungku mulai memompa lebih cepat. Pun merasakan hawa dingin yang disebabkan oleh jendela yang terbuka lebar.

Brak

Lagi, kini pintu yang berdebam. Lalu kembali tertutup rapat. Beralih dengan lampu yang berkedip-kedip. Bagaimana mengatakannya? Meskipun aku merasa 'terbiasa', tetap saja rasanya menakutkan.

"Gio?"

Aku memberanikan diri memanggilnya. Jika tidak malam ini, maka aku tidak akan tau kapan harus berdamai dengannya yang menjadi penghuni tak kasat mata kamar ini.

Aku mengernyit kala jendela yang terbuka lebar itu menutup dengan sendirinya. Aku bangkit dari posisi dudukku, melangkah ke arah jendela tersebut.

"Ayo buat kesepakatan, saya bersedia membantu!" seruku membuat lampu yang awalnya berkedip-kedip kembali menyala normal.

Meski demikian, aku belum bisa bernapas lega. Sebab Gio belum menampakkan dirinya sama sekali.

Aku berhenti di depan jendela. Menguncinya. Berharap tidak terbuka lagi. Setelahnya aku berbalik. Betapa terkejutnya aku melihat Gio yang sudah berada di dekat pintu, lengkap dengan wajah pucatnya. Oh, jangan lupakan bekas goresan merah melingkar di lehernya. Lagi-lagi yang kuyakini adalah bekas tali gantungan.

Aku meringis pelan, ngeri juga menyebutnya secara frontal. Memikirkan itu, membuatku teringat adegan kematian yang diperlihatkan Gio padaku. Tak ingin munafik, aku masih gemetar jika mengingatnya. Rasanya begitu nyata, seperti menonton orang mengakhiri hidupnya di depan mata.

"Saya tidak bisa berlama-lama. Kesepakatan seperti apa yang ingin kamu tawarkan?"

Aku mengangguk pelan, lantas mendekat ke arah ranjang untuk mengambil sobekan kertas usang yang ada di sana. "Ini!"

"Saya tau ini pasti dari kamu 'kan?" tanyaku menunjukkan kertas tersebut pada Gio.

Seperti dugaanku, Gio mengangguk. "Benar. Saya menaruhnya di sana. Jadi?"

Aku tersenyum tipis, berusaha menatap mata hitam itu tepat. "Saya siap bantu kamu untuk mengungkap kasus kematian itu. Asal dengan syarat, biarkan saya hidup tenang selama berada di asrama ini. Dan setelah kasus itu berhasil terungkap, kamu bersedia pergi ke tempat seharusnya," kataku panjang.

Sosok di depanku menyeringai. Terlihat mengerikan. Namun, aku menahan rasa takutku, karena kesepakatan ini harus segera tercapai.

"Apa itu menguntungkan?" Mata hitam itu terlihat seperti berputar-putar. Membuat diriku termundur sampai menabrak kaki ranjang.

Aku mengabaikan rasa nyeri pada kakiku. Berusaha membalas tatapan Gio yang tak biasa. Namun, apa pun hasilnya, aku menganggukkan kepala. Tanda mengiyakan jika kesepakatan ini menguntungkan.

"Bagaimana? Apa kamu gak capek berada di sini dengan kebingungan yang tertanam di hatimu?" tanyaku berharap jawaban Gio memang positif. Agar aku bisa memgeksekusi rencana awal yang bersarang di otakku.

Gio memgangguk, "Apa yang bisa kamu lakukan?"

"Tahap pertama, saya ingin mencari seluruh berita tentang kematian mahasiswa di kampus ini. Saya akan berusaha memilahnya dan menemukan berita yang berkaitan dengan asrama ini. Saya yakin tidak akan susah selama ada yang membantu saya," jawabku mantap. Sudah tak sabar ingin menunjukkan skill-ku dalam mencari sesuatu.

Tentu hal ini tidak luput dari pengalamanku semasa sekolah dulu. Tidak pernah absen hari-hariku dipenuhi dengan rasa dendam arwah-arwah bergentayangan itu.

Sosok di hadapanku terkekeh. Aku tau jika ia pasti akan menertawakan rencanaku. Aku akui bahwa rencanaku ini terdengar klise, tapi aku yakin sesuatu yang klise ini bisa membawa hasil yang besar. Namun, yang aku tidak yakin, adalah ini tidak se-instan yang dipikirkan. Terlebih lagi aku harus membujuk seseorang agar ia mau membantuku mencari informasi tentang ini.

"Apa hukumannya jika kamu tidak berhasil?"

"Mati."

Tidak, aku tidak bercanda dengan apa yang aku sebutkan. Itu sudah menjadi kebiasaan. Hm, kebiasaan saat membuat kesepakatan dengan arwah. Meski dalam hati, aku berharap hal ini akan berhasil seperti sebelum-sebelumnya.

"Ide bagus. Baiklah, saya setuju."

Aku menghela napas lega. Akhirnya, kehidupan tenangku akan segera tercapai!

Namun, aku teringat sesuatu. Aku kembali melihat sobekan kertas di tanganku. "Ini ... apa benar kamu nulis pakai darah?" tanyaku ingin meredakan rasa penasaranku.

Gio mengangkat alisnya, menatap sobekan kertas itu dengan serius. Seperkian detik, tawa mengudara. Memenuhi langit-langit ruangan.

Jika boleh jujur, aku sebenarnya takut mendengar tawanya. Bukan tanpa alasan, tapi suara tawanya terdengar seperti tawa Miss Kun yang dipadukan dengan suara angin. Bedanya hanya tidak terdengar 'hihi', tetapi 'haha hihi'.

"Kenapa kamu ketawa?" Aku menatapnya datar. Bosan juga melihat ia banyak tertawa.

"Bagaimana bisa kamu menganggap itu darah? Apa kamu tidak mencium baunya?" Lagi, suara tawanya seolah memenuhi indera runguku.

"Memangnya bukan darah?" tanyaku yang kuyakini lipatan terbentuk di dahiku.

"Tentu saja bukan. Itu pacar milik Bu Sumariah yang saya ambil diam-diam," jawabnya setelah mengangguk. "Itu hanya untuk menakut-nakutimu. Lagipula dari mana saya bisa dapat darah, dengan kondisi saya yang demikian?"

Mendengarnya aku tercengang. Bagaimana bisa seorang hantu membohongiku seperti ini?

***




Penunggu Kamar Pojok Asrama Where stories live. Discover now