▪︎ 2. Tidak Ada Gangguan ▪︎

45 15 14
                                    

Baca horor tengah malem aja, biar enak🌝






***

Malam tadi, tidurku lumayan nyenyak. Meski rasa sakit di punggungku masih tersisa adanya. Namun, itu tak terlalu mempengaruhi tidur nyenyakku. Hanya saja aku merasa heran. Bagaimana tidak?

Aku merasa janggal karena tiba-tiba semuanya menjadi tenang. Tidak ada gangguan dari Gio yang biasanya merecokiku dengan segala aksinya. Bukan berarti aku tidak senang, tetapi lebih merasa aneh. Sebab aku merasa ada sesuatu yang lebih mengerikan yang tengah menantiku di depan sana. Eh, ini aku tidak berdoa akan mengalami seperti itu ya, hanya saja aku merasa ini ... ck! Apa yang aku pikirkan?

Bukankah justru bagus jika aku tidak perlu berurusan lagi dengan orang mati? Lalu apa masalahku? Khawatir tidak bisa melihat lagi sosok-sosok menyeramkan itu, heh?

Oh, ayolah! Aku bahkan berharap mata batinku tertutup selamanya, agar aku bisa memiliki kehidupan normal layaknya orang-orang. Jujur saja, memiliki kelebihan seperti ini tidak melulu berguna, ada saja tempatnya menyusahkan. Yah, contohnya seperti ini. Harus berhadapan dengan hantu emosian seperti Gio.

Aku sebenarnya tidak sekali atau dua kali bertemu hantu seperti Gio. Akan tetapi, yang kali ini lebih parah. Main lempar fisik. Bahkan mentalku hampir melemah selama hampir sebulan ini. Benar-benar deh, aku layaknya orang bodoh yang sanggup menetap di asrama itu hanya karena keterbatasan biaya menyewa di tempat lain.

Aku menoleh ke sampingku. Melayangkan tatapan bertanya pada cewek dengan poni rata itu.

"Lihat depan, goblok!" makinya dengan berbisik.

Refleks, aku menoleh ke depan. Aku memelotot karena pria paruh baya kini tengah menatapku dengan garang. Apes, aku lupa jika sedang berada di kelas.

"Yang tidak memperhatikan, silakan jelaskan ulang apa yang telah saya terangkan tadi!"

Suara tegasnya membuat bulu kudukku merinding. Rasanya lebih menakutkan dari Gio yang selalu menggangguku.

"Cepat! Apa perlu saya ulangi perkataan saya!"

Semua mata menoleh ke arahku. Lagi-lagi aku meneguk ludah dengan susah payah. Lantas memberanikan diri untuk berdiri. Dengan berat hati, melangkah ke depan kelas. Tepat di samping dosen itu.

Aku melirik pria paruh baya yang sering dipanggil pak Imron itu. Seraya menggigit bibir dalam, aku memberanikan diri bertanya.

"Saya jelasin bagian mana ya, Pak?"

"Semua."

Singkat, padat, dan jelas. Namun, berhasil membuat jantungku berdetak keras. Sembari melirik papan tulis yang penuh dengan coretan tangan pak Imron, aku menggigit bibir bagian dalam. Mencoba menganalisa urutan awal hingga akhir.

Jujur saja, sebagai mahasiswa jurusan pendidikan biologi, aku sangat mahir dalam menjelaskan bagian-baguan organ manusia dan fungsinya. Namun, beda halnya jika sudah berhubungan dengan reaksi kimia. Tentu saja, reaksi kimia adalah hal terumit yang tidak suka aku pelajari. Bahkan lebih sulit dari pelajaran turunan matematika. Terlebih lagi melihat tulisan pak Imron yang seperti tidak niat, membuat aku harus menyipitkan mata untuk membacanya.

Hei, memang apa yang bisa dibaca dari reaksi kimia yang hanya berupa huruf? Masih mending jika itu tentang persilangan pada biologi, aku mungkin masih bisa mencernanya. Lantas yang ini ... bagaimana?

Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Membalas tatapan garang pak Imron, yang jika tatapan bisa menusuk, mungkin aku aku berada di alam lain.

"Duduk! Kamu membuang waktu saya saja!"

Aku mencibir dalam hati, enak saja menyalahkanku. Lagian matanya teliti sekali saat melihat mahasiswa yang tidak memperhatikan. Seolah memang sudah di-setting demikian.

Aku beringsut kembali ke kursiku. Diam-diam menatap sebal ke arah pak Imron yang lanjut menjelaskan.

"Kamu tuh ya, selalu melamun setiap kali ikut kelas."

Aku melirik sekilas, tak minat menanggapi Heni—si gadis berambut gelombang dengan poni ratanya. Entah mengapa ia selalu menjadi saksi aku dimarahi oleh dosen saat aku melakukan sesuatu kesalahan. Aku juga heran, kenapa aku selalu satu kelas dengannya? Padahal kami dibebaskan untuk memilih kelas di website kampus. Dan pastinya kecil kemungkinan jika satu kelas dengannya.

"Apa?" tanyanya, seraya melirik pak Imron yang menuliskan sesuatu di papan.

Aku menggeleng, enggan menjawab. Aku mengalihkan perhatian, kali ini melihat tulisan pak Imron yang yah membuatku tersenyum samar. Agak lucu mengatakannya, tetapi ini juga tidak sopan jika mengatai tulisan seorang guru besar. Sepertinya opini tentang 'orang pintar, tulisannya jelek' itu benar.

"Nah, silakan, ada yang paham dengan reaksinya?"

Aku meringis pelan mendengar pria paruh baya itu. Aku merasa pertanyaannya tidak mengarah kepadaku. Tentu saja aku bahkan tidak membaca tulisan di papan dengan benar. Memangnya (sekali lagi), apa yang harus dibaca? Itu cuma huruf, CUMA HURUF!

Yah, baiklah. Meski aku tidak suka dengan kimia, tapi aku cukup tau jika itu sekedar lambang dari nama unsurnya. Seperti yang tertulis di papan. Ada huruf F dan Fe. Tentu saja keduanya berbeda. Huruf F melambangkan nama unsur dari Fluor, sedangkan huruf Fe melambgamkqn nama unsur dari besi.

Tidak sulit untuk membedakannya. Bahkan anak SMP pun bisa. Akan tetapi, berbeda denganku yang tidak suka kimia. Meski terlihat mudah, aku enggan mempelajarinya. Aku akan lebih memilih menghafalkan nama latin berbagai buah atau sayuran. Walau lidah mungkin berbelit saat menyebutnya, tidak dengan tulisannya. Akan diingat saat melihat buah atau sayuran yang dimaksud.

"Baiklah, ada yang ditanyakan?"

Suara pak Imron mengintrupsiku dari lamunan. Sepertinya ia tak sadar jika aku kembali melamun. Tak apalah, lagipula aku tidak peduli. Kelasnya juga sudah selesai.

"Oke. Jika tidak ada, maka kelas hari ini saya cukupkan sampai di sini. Terima kasih atas waktunya, selamat siang."

Kami menjawab ucapan selamat itu hampir kompak. Setelahnya, pak Imron keluar dari kelas. Meninggalkan kami yang membereskan alat tulis masing-masing. Tak terkecuali Heni yang masih setia duduk di sampingku.

"Lagi sekali natap aku, kucolok matamu pakai bolpinku!" ancamnya yang sadar aku perhatikan.

Aku melengos, lantas beranjak dari dudukku. Mulai meninggalkan ruang kelas dengan beberapa teman yang kukenal hampir sebulan ini.

Namun, saat melewati tangga, aku merasakan aura yang berbeda. Aku meneguk ludah dalam diam, berusaha tidak terkecoh dengan instingku. Terus saja melangkah turun mengikuti teman-temanku yang lain.


***

Penunggu Kamar Pojok Asrama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang