Episode 3: Pak Garren

15 1 0
                                    

Aku duduk di kursi ujung yang dekat dari pintu masuk. Kami duduk bersebrangan, saling berhadapan. Walaupun begitu, jarak kursi kami terpaut jauh, kira-kira berjarak tujuh meter.

Pak Garren mulai menulis sesuatu pada sebuah buku. Setelah menulis, dia bertanya beberapa hal kecil seperti: apakah aku bisa bertarung, apakah aku bisa berbicara dengan lancar, dan apakah aku memiliki penyakit lain selain diabetes melitus.

Kujawab semua pertanyaannya. Dia tersenyum tipis, lalu menulis kembali di atas lembaran buku.

Lima menit aku dijejal beberapa pertanyaan simpel. Dia bangkit dari kursi dan mengajakku ke suatu tempat.

Pak Garren menuju ruangan di sebelah kanan. Dia membuka pintu dengan cara menggesernya. Di dalam sana terdapat empat cabang tangga.

"Ikuti aku!" Pak Garren menuju ke tangga yang ada di ujung kiri. Kami menuruni tangga yang tingginya dua puluh meter.

Lalu, Pak Garren berhenti saat tiba di bawah. Di sana ada sebuah pintu, satu-satunya akses yang ada di sana. Dia menarik kenop dan melebarkan pintu.

Dia masuk ke dalam, kemudian memanggilku masuk. Memasuki tempat itu, kembali memberiku rasa kejut.

Ruangan luas berada di bawah tanah. Tempat ini redup akan cahaya, banyak box-box yang bersebaran. Di dekat pintu, ada sebuah pos mini.

Pak Garren mengantarku ke sana. Setibanya di depan pos yang dilindungi kaca. Pak Garren mengetuk kaca jendela, sehingga seseorang di dalam terkejut dan menubruk kaca jendela.

"P-Pak Garren!" Dia keluar dari pos. Orang ini berpakaian layaknya tentara, memakai kupluk dan berjanggut.

"Lagi-lagi kau ketahuan tidur saat berjaga."

"Maaf Pak." Pria itu menunduk, berkata dengan nada melas.

"Ya sudah, itu tidak perlu kau pikirkan. Sekarang, kau ada tugas."

Pria itu menengok ke belakang Pak Garren, dia melihatku.

"Wah, cepat sekali menemukan kandidat baru. Ini mah bisnis kita pasti lancar." Pria itu berkacak pinggang, melebarkan senyuman.

"Jangan bicarakan itu di sini! Kita perlu 'agen' baru untuk melanjutkan misi. Kau paham kan mengenai visi misi kita sebagai agen rahasia swasta?"

Rasanya begitu aneh. Ini seperti bukan sebuah organisasi agen rahasia swasta, tapi mirip kartel narkoba.

"Ajari dia cara menggunakan senjata." Pak Garren pergi meninggalkanku bersama pria berjanggut.

Pria berjanggut menuju ke sebuah meja panjang di samping pos mini, dia sedang merakit senjata api. Setelah selesai, dia mendekatiku dan memberiku senjata api ini.

Aku tahu senjata api jenis apa ini, kalau tidak salah bernama AK-47.

"Kau lihat di sana." Pria berjanggut menunjuk ujung ruangan, ada patung manekin berbentuk manusia yang sudah di cat: seperti target sasaran menembak.

"Tembak manekin itu, pastikan mengenai titik di tengah itu." Dia menunjuk bagian dada dari manekin.

Kuangkat senapan ini, mengeker target dari atas senjata. Memincingkan satu mata dan siap menembak.

Kutarik pelatuk. Peluru keluar menuju target, peluru-peluru itu nyaris tidak mengenai target. Getaran senapan ini cukup mengganggu, ditambah suara bisingnya yang mengganggu.

Aku menoleh, mengangkat kedua alis kepada pria berjanggut. Dia mengangkat kedua bahu. Jadi, kupalingkan wajah darinya dan kembali mengeker target.

Kali ini, aku bersikap tenang. Mengambil napas, lalu mengeluarkannya dengan teratur, kuulangi hal tersebut sambil memejamkan mata.

Saat kurasa tekadku sudah bulat. Kubuka kedua kelopak mataku. Menahan napas dalam. Lalu menarik pelatuk sekali lagi.

Peluru-peluru melesat mengenai target dan nyaris memenuhi titik di dada manekin.

Selesai menembak, aku menoleh ke arah pria berjanggut. Dia tampak terkejut, membuka mulutnya dan membulatkan matanya.

"Hebat, apakah kau seorang tentara?" Dia mendekatiku, menggeleng-gelengkan kepala lalu memegang bahuku.

"Siapa namamu, nak?"

"Bardi."

"Hahaha, nama yang keren Bardi. Aku Cedric." Dia menjulurkan tangan. Kuterima uluran tangannya, dia menganggukkan tangan kami yang saling bercengkraman.

Cedric melepas cengkramannya, dia pergi menuju meja persediaan senjata. Dari belakang punggungnya, kulihat dia asik mengotak-atik.

Selang dua menit, dia berjalan sembari membawa tiga senjata, dua diantaranya berupa belati dan satunya adalah pistol.

Dia melempar pistol itu ke udara. Kutangkap pistol itu. Dia memekik, "Tembak!"

Kulesatkan tembakan sampai pelurunya habis. Cedric segera berlari menuju manekin yang kutembak.

Setibanya di sana, dia memeriksa sesuatu, tampak seperti mengelus, entah apa yang dilakukan pria berjanggut itu.

Setelah melakukan kegiatan anehnya, dia memanggilku. Aku menyahut.

"Kerja bagus, nak!" pekiknya dari jauh sambil mengangkat manekin yang dadanya sudah bolong dan tembus.

Tidak kupercaya aku berbakat dalam hal ini.

Pria berjanggut berlari menujuku. Setibanya di hadapanku, dia melempar sebilah belati. Kutangkap dengan kikuk.

"Sekarang, kau harus mengalahkanku dalam pertarungan." Dia tersenyum miring.

Tangannya sigap menggoyangkan belati bak ahlinya. Menyempurnakan kuda-kuda sementara, Cedric melepas acuan dari lantai dan melompat bagai serigala haus darah.

Aku kikuk. Panik. Kupandang dia bagai seekor kelinci yang tengah berenang di tengah gerombolan buaya lapar.

Pincang SebelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang