Episode 5: Ruangan Bawah Tanah

13 1 0
                                    

Matahari kembali menyongsong cerahnya bumi. Sinar-sinar kembali merambat ke penjuru daratan, pertanda pagi telah tiba.

Aku terbangun di atas sofa, di depan televisi yang menyala. Aku tidak ingat pernah menyalakan televisi.

Kucoba menarik tubuhku untuk duduk, dan berhasil. Aku merebahkan punggung di sofa. Memantau Githa yang sedang ketiduran di karpet hijau, kepalanya ditopang oleh boneka beruang merah mudanya.

Kurasa dia tertidur dan lupa menyalakan televisi. Anak nakal, hahaha. Kupacu kaki kananku untuk bangkit. Perlahan namun pasti. Dengan berbekal berpegangan pada ujung sofa, aku dapat bangkit.

Berjalan tertatih-tatih, ulu hatiku tidak begitu sakit. Kulangkahi anak perempuan semata wayangku. Mematikan televisi.

Belum selesai kembali ke sofa. Telepon genggamku berdering, seseorang menelepon.

Aku menghampiri meja yang menopang telepon genggamku. Mengangkat telepon. Pria bersuara serak itu mulai berbicara.

"Datang jam sembilan pagi, Bardi. Kutunggu di tempat kemarin, jangan sampai telat."

"Ya. Tunggu aku."

Telepon kembali dimatikan sepihak oleh Joel. Aku bergegas. Mengambil kemeja hitamku, memakainya. Kusempatkan diri mencuci muka dan menggosok gigi.

Di ruang tamu. Anakku tampak pulas. Walaupun dia masih kecil, anakku sudah bisa membaca. Itu berkat istriku. Aku menulis pesan pada secarik kertas.

Kupacu langkah menuju minimarket di depan rumah. Membeli snack, minuman dingin dan daging merah. Setiba di rumah, aku memasak daging merah. Menghidangkannya di atas piring dan menyimpannya di atas meja di ruang tamu. Kusimpan snack dan minuman dingin beserta secarik kertas di meja itu. Lalu aku pergi.

Pesanan taxi online-ku sudah datang. Aku masuk ke dalam. Supir mulai menancap gas. Melewati jalan ke pedesaan. Lima belas menit kemudian, aku tiba di depan sebuah peternakan.

Aku turun, membayar upah supir. Bergegas masuk melintasi pagar yang terbuka dan mengetuk pintu gubuk. Joel tiba dari balik gubuk dan mengajakku keluar.

"Sudahkah kau menerima uang itu?" Joel menarik satu batang rokok dan membakarnya.

"Sudah."

Joel menarik satu batang lagi. Aku berkata bahwa diriku tidak merokok. Joel tertawa, dia berkata bahwa aku masihlah diriku yang dulu, tidak merokok dan minum bir.

"Siapa yang kita tunggu?" Aku mengerutkan dahi. Kami menunggu di depan pagar, terlihat sedang menunggu sesuatu. Joel hanya menatapku lembut, tersenyum.

Tak lama, limusin tiba di peternakan. Mendekat ke depan pagar. Joel menarik pintu belakang, menyuruhku masuk.

Kami masuk. Mobil kembali tancap gas, memutar arah ke kota. Aku tidak bertanya apa-apa, hanya menikmati perjalanan sembari mengingat rute yang kulalui.

Tiba di tengah kota, limusin segera berhenti di depan sebuah bangunan berderet. Joel turun, aku juga turun.

Di hadapanku adalah sebuah bangunan yang terawat. Papan toko bertuliskan: Agen Rahasia Swasta Sir. Morgan.

Joel menggesek moncong rokoknya yang habis, lalu membuangnya ke tong sampah. Dia masuk, aku mengikutinya. Bel berbunyi saat Joel membuka pintu.

"Selamat datang." Seorang wanita berpakaian setelan musim dingin menyapa.

"Oh, rupanya kau, Joel." Wanita itu berjalan menuju kasir dan menarik kursi. Joel mengikutinya, aku pun ikut di belakang.

"Kedatanganku kemari adalah ingin membawa agen baru kita." Joel menoleh ke arahku.

Wanita itu menyapa, kusapa balik dia.

"Bagaimana keadaan Pak Garren?"

"Dia baik. Sekarang sedang menjalani masa pengobatan sementara. Dia terkena darah tinggi karena banyak berpikir." Joel membuka jaket kulitnya, menaruhnya di atas meja kasir.

Lalu, pintu di balik meja kasir berdesis. Seorang pria berumur lima puluh tahun, memakai setelan musim dingin dan berambut putih tiba.

"Halo Pak Morgan." Joel menyapa pria tua itu. Pria tua itu kembali menyapa.

Pak Morgan, dia-lah yang memiliki bangunan ini, dia yang menjalani bisnis agen swasta ini.

Lalu, Pak Morgan mengambil secangkir gelas putih di meja kasir dan kembali ke dalam.

"Dia pemilik agen rahasia swasta ini?" Aku menepuk pundak Joel.

"Ya, sepertinya. Anggap saja dia yang punya." Jawaban Joel membuatku ambigu.

Remot televisi terpampang di atas meja kasir. Wanita itu mengambilnya, dia menyalakan televisi yang menggantung di atas dinding.

"Telah ditemukan seorang pengusaha yang menggeluti bidang industri teknologi bernama Kasim Bhiaj tewas tergantung di dalam apartemennya. Menurut kepolisian, pemilik perusahaan teknologi terbesar se-Inggris itu diketahui memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri..."

"Cepat sekali." Joel bergumam, mengeraskan rahangnya. Wanita di samping membalasnya dengan anggukan dalam.

Joel berdiri, diikuti wanita itu juga. "Ayo ikut aku, Bardi!"

Joel dan wanita itu berjalan menuju pintu di samping meja kasir. Membukanya, kami masuk secara tertib.

Di dalam, ada dua jalur, lorong kiri dan lorong kanan. Joel berjalan menuju lorong kiri dengan lugas. Berjalan sampai ujung, lorong ini menjadi gelap.

Kutemukan pintu kala perjalanan kami sudah mencapai ujung lorong. Joel menarik kenop pintu, mendorongnya. Dia berjalan masuk diikuti wanita itu, aku juga ikut.

Sekarang, ada sebuah ruangan. Tidak ada yang janggal dengan ruangan ini, seperti ruangan kerja kantor pada umumnya: ada meja, komputer, kursi, lemari dan beberapa hiasan ruangan.

Joel menuju lemari. Membuka kedua pintu lemari kayu. Menarik gantungan baju dengan bentuk ranting panjang yang kokoh, sudah diamplas.

Gantungan itu bereaksi, jatuh ke bawah. Tercipta suara mendesis, menggema dari bawah lemari. Permukaan lemari terbuka, lalu sebuah lift mini tiba di dalam lemari.

Joel masuk ke dalam, wanita itu dan aku juga. Cukup luas, cukup untuk dimasuki enam orang. Joel menekan tombol di samping kiri pintu. Pintu lemari tertutup, kemudian pintu lift juga tertutup.

Lift turun ke bawah. Lima belas detik kemudian, lift berhenti. Pintu lift terbuka. Joel dan wanita itu keluar dari sana, aku mengikuti mereka.

Ruangan bawah tanah! Begitu canggih!

Tidak henti-hentinya mataku membulat dan berbinar-binar. Ruangan yang dicat berwarna putih dan dipenuhi beragam peralatan teknologi memicu kesenanganku.

Di ruangan bawah tanah ini, ada enam orang dengan setelan jas. Sebagian dari mereka sedang beristirahat, sebagian lagi sedang mengetik komputer, sepertinya sedang menjalankan tugas agen rahasia: yaitu mengumpulkan data.

Lalu, dari sebuah pintu, seseorang keluar dari sana. Dia adalah Pak Halton.

"Oh, kalian sudah datang. Baguslah." Pak Halton mendekati kami.

"Sekarang, aku yang akan memandumu untuk melihat-lihat ruang kerja barumu, Bardi." Pak Halton mengajakku berkeliling, sementara Joel dan wanita itu pergi ke sebelah kiri ruang bawah tanah: ruang istirahat.





Pincang SebelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang