Episode 7: Ksatria Sejati Menurut Tuan Putri

14 1 2
                                    

Ponsel yang diberi pria ber-jas berdering. Aku mengangkat ponsel itu dan membaca notifikasi pesan dari sebuah nomor yang diberi nama inisial 'A'.

"Kau boleh pulang. Datanglah jika ada aku menelepon."

Kujawab pesan itu, "Sungguh? Terima kasih."

Aku memacu langkah keluar dari toko penyamaran. Mencari-cari keberadaan supir taksi yang sedang nangkring. Kupanggil salah seorang supir taksi yang sedang membaca koran di samping mobilnya.

Dia tertegun, menatapku dengan ramah, membukakanku pintu mobil. Lalu kami berdua masuk ke dalam mobil. Dia menyalakan mesin, lalu bertanya tujuanku, kuberitahu dia. Dia mengetahui komplek perumahanku, kemudian menancap gas dan mobil melesat di tengah kota yang padat.

***

Aku tiba di depan rumah. Membayar upah supir taxi. Berjalan memasuki pagar rumah yang terkunci, membukanya dengan kunci ganda.

Cuaca mulai mendung, sinar mentari juga tahu jalan pulang. Sore.

Aku mengetuk pintu rumah. Memanggil nama anakku. Sekejap, pintu rumah terbuka.

"Anak ayah. Bagaimana kabarmu?"

"Baik, ayah."

Kuraih tangan anakku dan menggandengnya masuk ke dalam rumah.

Lalu, dia berhenti di ruang tamu, melepas tanganku dan berkata, "Mulai sekarang, panggil aku Tuan Putri, ayah. Karena aku telah diselamatkan oleh Pangeran William."

"Oh, benarkah, Tuan Putri?!" Aku membulatkan mata. "Di mana calon menantu Raja ini?"

"Dia sedang menuju kemari, tapi kudanya sudah mati saat Pangeran William menyelamatkanku. Sekarang dia di dalam taxi, dan terjebak macet."

"Malang sekali." Aku tertawa. Lalu meraih tubuh anakku. Merangkulnya. Mengelus punggungnya. Dia terjatuh di dalam pelukanku. Dia mendekap leherku sehingga memberiku rasa hangat seperti dekapan syal.

Lebih dua puluh menit aku tiba di rumah. Aku memutuskan ke minimarket di depan rumah. Membeli bahan makanan seperti kentang, kubis dan satu tray telur ayam. Lalu pulang.

Aku memasak sebuah hidangan mudah. Mencampur kentang dan kubis, dan menggoreng telur secara terpisah.

Kubawa masakanku yang telah jadi di meja makan. Githa menunggu sambil duduk memegangi garpu dan sendok. Tak lupa beruang merah mudanya ikut makan malam dan duduk di sebuah kursi, itu kursi yang seharusnya diduduki istriku.

"Masakannya sudah jadi, Tuan Putri."

"Terima kasih Baginda Raja."

Aku menurunkan sebuah piring di hadapan Githa.

"Bubble and squeak!" pekiknya, dia senang. Mulai merobek olahan kentang dan kubis itu dan memasukkannya ke mulut. Tak lupa, dia merobek daging telur mata sapi dan memakannya secara bersamaan dengan hidangan bubble and squeak.

Giginya menggertak. Memasukkan garpu ke mulutnya tiap sepuluh detik. Lalu kembali menggertak giginya.

Aku telah menghidangkan satu lagi untuk diriku sendiri. Hidangan sama seperti yang dimakan Githa.

Kami makan berdua. Saling berhadapan. Tidak ada sahut-menyahut. Kami khidmat menyantap makanan. Tidak ada candaan, hanya senyuman anak semata wayangku yang tidak banyak bicara: untuk saat ini.

Dalam sela makan malam. Githa bertanya kepadaku.

"Dari mana ayah bisa membeli bahan makanan yang banyak?"

Aku terdiam, menghentikan kegiatan memotong makanan. Kudongakkan kepala, menatapnya dengan lembut dan melebarkan senyum.

Beberapa detik aku terdiam. Lalu mulai berbicara.

"Ayah bisa beli ini semua karena punya uang. Syukurlah Tuhan mengasihi kita."

"Wah, ngomong-ngomong, ayah bekerja menjadi apa? Kalau jadi penjual koran kan sulit dapat uang."

"Tidak usah dipikirin, nak. Koran ayah lagi banyak yang beli." Kuusap kepala anakku. Dia melunak.

"Ayah mirip ksatria sejati."

"Ksatria sejati? Maksudnya?"

"Iya, ksatria sejati! Ayah mau berusaha melindungi orang tercinta walaupun sedang dalam kesulitan."

"Ah." Aku menepis udara, "Inikan sudah jadi tugas ayah."

"Tuhkan, mirip kayak ksatria sejati. Di buku dongeng. Mereka selalu bilang begini sehabis menyelamatkan Tuan putri, 'Tidak Tuan Putri, aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan,' begitu ayah."

"Hahaha. Ya sudah, panggil ayah ksatria sejati sekarang."

"Eh, belum bisa."

"Kenapa belum bisa?"

"Ayah harus punya jiwa berani mati dan..."

"Dan apa?"

"Dan memperjuangkan kebenaran!" Anakku menaikkan nada, berdiri sedikit dari kursi dan membentak meja.

Saking serunya bercerita, dia melupakan dirinya yang sekarang dan mengembalikan dirinya yang dahulu: periang.

Aku melebarkan senyum hangat. Sudah lama dia tidak seperti ini.

Aku menatap kursi yang diduduki boneka beruang merah muda. Aku menghela napas dalam, lalu membuangnya dengan kasar. Andaikan saat sekarang, Andin masih ada.

"Ayah kenapa?" Anakku menatapku dengan cemas. Dahinya mengerut. Bibirnya monyong ke depan. Dia terlihat menggemaskan.

"Tidak ada, anak ayah yang imut." Aku mengusap rambutnya. Dia memejamkan mata, menikmati usapan itu.

***

"... Dan Putri Elle hidup bahagia bersama Pangeran Matt." Aku menutup buku dongeng berwarna hijau tebal dan meletakkannya ke samping sofa.

Kutatap sampul bukunya. Menggambarkan seorang pangeran, putri kerajaan dan prajurit yang memakai baju zirah.

"Sudah ya."

"Bacakan lagi sekali, ayah."

"Githa. Kau sudah mengulangi perkataan itu sebanyak empat belas kali."

"Hehehe. Bacakan sekali lagi ya, ayah." Githa memohon sambil bergurau. Menggelitik di atas pahaku.

"Ya sudah. Habis ini kamu tidur."

"Nah, gitu dong, ayah. Ksatria sejati itu bertanggung jawab."

"Kamu bisa saja, nak." Aku mengusap rambut anakku, acak-acakan. Dia tertawa. Dalam sekejap dia kembali diam, nurut. Mendengar dengan khidmat dongeng yang kubacakan.

Dongeng ini memiliki akhiran di mana karakter utamanya berakhir bahagia. Cerita ini cocok untuk anakku, dia suka dongeng tentang putri kerajaan. Namun, aku sedikit benci sebuah narasi cerita ini, karena membiarkan Jack si prajurit yang mencintai Putri Elle tewas, karena mengorbankan diri untuk menyelamatkan Putri Elle di dalam istana yang mulai ambruk.

Putri Elle memilih menikah dengan Pangeran Matt. Ya, aku tahu kalau kita tidak boleh berlarut dalam kesedihan setelah seseorang yang menunjukkan pengorbanannya untuk diri kita telah tewas. Tapi, rasanya tidak pantas jika pahlawan nyata diperlakukan tidak baik








Pincang SebelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang