Episode 8: Dua Anjing

9 1 0
                                    

Keesokan paginya. Dering telepon memenuhi rumah dua lantai ini. Aku terbangun dari sofa dan meraih telepon genggamku di atas meja ruang tamu.

"Joel, ada apa?"

"Maaf menganggu pagimu. Aku menelepon hanya untuk bertanya hal kecil. Apakah kamu tidur nyenyak semalam?" Suaranya datar, serius, tidak seperti biasanya.

"Ya, memangnya kenapa, Joel?"

"Aaa, aku hanya bertanya kabar saja. Sebagai rekan barumu, aku ingin meningkatkan rasa saling pengertian saja. Kalau begitu, lanjutkan kegiatanmu. Sampai bertemu di markas kota."

Markas kota merupakan ruangan bawah tanah yang ada di bawah toko penyamaran, tempat yang kemarin kukunjungi.

Masih heran dengan perangai teman lama SMA-ku, memangnya apa yang telah terjadi? Nada bicaranya sedikit mengkhawatirkan.

Aku beranjak dari sofa. Lagi-lagi anakku tertidur di karpet hijau sambil menopang kepalanya dengan boneka beruang merah muda. Dan kali ini, televisi menyala seperti saat kemarin.

Aku mematikan televisi. Membersihkan diri, memasak dan bersiap untuk pergi kerja.

Kuraih jaket kulit yang lebih gelap, sedikit kecoklatan dan berkilau.

Di ruang tamu, Githa telah terbangun, memegang bonekanya sambil menatapku bingung, matanya berkedi-kedip, ini pasti efek baru bangun.

Sesaat, dia bertanya akan ke mana aku sekarang. Maka kujawab kalau aku ingin pergi bekerja.

Aku pergi, menaiki taxi yang sedang nangkring di depan minimarket. Lima belas menit kemudian, aku tiba di dekat halte bus. Aku sengaja tidak langsung ke toko penyamaran, karena aku ingin menuju toko pakaian di pinggir jalan.

Saat berjalan menuju toko pakaian yang berjarak tidak lebih dua puluh langkah. Seorang laki-laki kekar dan seorang laki-laki kurus menghadangku dari dalam gang.

Aku terkejut. Kemudian bertanya maksud mereka. Salah seorang dari mereka yang memakai jaket tanpa lengan bertanya apakah aku mengenal seseorang bernama Marine Lucster.

Kukatakan tidak, aku tidak tahu nama itu. Lalu orang kurus mulai merogoh jaketnya dan menunjukkan sebuah foto.

Itu adalah foto seorang wanita yang sedang mengenakan kacamata, lalu ada seorang pria di sampingnya.

Aku mengernyit, "Tidak, aku tidak pernah melihat orang ini sebelumnya."

Kedua orang kekar saling menatap, selang beberapa saat saling mengangguk. Kemudian berpamitan untuk pergi.

Aku tiba di toko pakaian, jarak toko itu sejauh lima belas kaki dari markas kota. Aku membeli pakaian, kemudian membayar dan pergi ke markas kota.

Setibanya di sana, Joel sedang duduk sambil membaca koran. Sekejap, fokus membacanya buyar saat aku menyapa.

"Hei, bung. Syukurlah kamu aman. Bagaimana perjalananmu?" Dia menepuk pundakku.

"Ikut aku sini, kita minum kopi." Dia menggandengku ke meja kasir.

"Pak Morgan, bolehkah buatkan kami dua kopi?" Joel menoleh kepadaku, "Pahit atau manis?"

"Pahit.", "Dua yang pahit, ya,Pak Morgan."

"Ya, dua yang pahit." Pak Morgan menuju dispenser dan menyeduh kopi. Kemudian kembali ke meja kasir dan menghidangkan ke atas meja.

"Ini dia, dua temanku. Nikmatilah." Dia mengibas tangannya, berusaha mendinginkan wajahnya.

Joel mulai menyeruput Kopinya, "Kopi yang enak." Joel berkata dengan suara yang dipaksa besar.

"Tentu saja. Ngomong-ngomong, sudah lama tidak ada pelanggan yang datang," sahut Pak Morgan.

"Kau benar sekali. Aku harus banting setir jadi pebisnis makanan karena bisnis mata-mata sedang hilang tren," balas Joel.

'Mereka bicara apa? Kenapa mereka tertekan?' batinku.

Suara tapak sepatu kulit terdengar masuk melewati toko penyamaran, bel pun tak bisa menyembunyikan kebohongannya.

Aku melirik ke belakang. Dua orang sebelumnya menghadangku, seorang laki-laki kekar dan temannya yang kurus.

"Hei, Joel. Apa yang kau lakukan dengan orang ini?" Orang kekar dengan jaket tanpa lengan menyeletuk.

"Dia temanku."

"Benarkah? Dia sering bersamamu selama dua hari ini. Dia teman atau rekan?" Orang kekar dengan jaket tanpa lengan mendekati Joel, merangkul bahu Joel.

Berbeda dari sebelumnya. Kini, Joel tampak lebih pendiam dan mencoba mendominasi.

"Ayolah, tadi kau bercerita sangat banyak. Kenapa kau diam sekarang?" Orang kekar dengan jaket tanpa lengan tersenyum miring, mengintimidasi.

"Tidak ada. Lagipula, apa yang kau cari? Wanita itu lagi?"

"Kau peka. Ya, aku mencarinya. Kau tidak bisa menyembunyikan apa pun, sebab kemarin, aku melihat dia datang ke sini."

"Ya. Dia memang datang, tapi tak ada urusannya denganmu."

"Coba ulangi? Wanita itu istri Tuan Bhiaj. Pemilik perusahaan yang bergerak di industri teknologi, Bhiaj Techno. Dan aku adalah utusannya kalau-kalau dia sedang butuh sesuatu." Orang kekar dengan jaket tanpa lengan meninggikan nada, dia kesal tapi tidak berani marah.

Orang kekar dengan jaket tanpa lengan menoleh ke belakangnya dan menyuruh rekannya yang lebih kurus darinya.

Rekannya menggertak kesepuluh jari-jemarinya. Tersenyum. Mulai mengangkat satu tangan dan mendorongnya tepat ke wajah Joel.

Joel terpelanting. Benda di atas meja kasir berhamburan jatuh karena ditimpa badan Joel. Pak Morgan bangkit dari duduknya, baru saja berdiri, wajahnya langsung ditinju hingga dia terjatuh dan tak sadarkan diri.

Aku bangkit dari kursi. Mengepal tangan. Maju dan meninju wajah preman kurus itu.

Dia marah setelah tinjuku membekaskan darah di hidungnya. Dia mulai maju, lalu meninju ke depan. Aku menangkis. Kubalas dengan tinju menyamping dan tepat mengenai dadanya.

Dia terpelanting sampai ke depan pintu masuk. Menabrak pintu kaca sampai-sampai orang di luar toko segera merapat menyaksikan perkelahian jalanan.

Preman kurus itu bangkit, raut wajahnya tegas, napasnya memburu. Dia kembali maju. Tapi segera dihentikan oleh orang kekar dengan jaket tanpa lengan.

"Jangan buat keributan, kita hanya mencari Nona." Tangan orang kekar dengan jaket tanpa lengan menyudahi tubuh rekannya yang murka.

Preman kurus membenahi napasnya. Dia menoleh ke belakang. Orang-orang sudah ramai di depan toko untuk mengintip aksi perkelahian kami.

"Ayo kita balik!" Orang kekar dengan jaket tanpa lengan berbalik badan dan keluar dari toko, diikuti oleh temannya yang cungkring.

Orang-orang di luaran sana mulai mengepung kedua preman itu. Namun orang kekar ahli bersilat lidah, dia berhasil meyakinkan orang-orang bahwa itu hanyalah masalah pribadi dan tidak perlu dibicarakan di muka umum.

Mereka pergi. Kusaksikan kedua punggung preman itu menghilang di telan ramainya kendaraan dan orang-orang kantoran yang sibuk.

Aku berbalik badan, berjalan ke meja kasir dan menjulurkan tangan, "Ayo bangun, Joel."

Dia menerima uluran tanganku. Dia bangkit, membersihkan debu yang menempel di jaket kulitnya.

"Orang-orang sialan!" umpat Joel.

"Siapa mereka sebenarnya?" Kutanyai Joel, dia tidak pernah memberitahuku apa-apa sebelumnya.

"Mereka anjing-anjingnya Bhiaj." Kupikir Joel masih marah dengan aksi dua preman tadi, maka kuhentikan pembicaraan kami tanpa kuperoleh satu pun informasi yang menguntungkan.




Pincang SebelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang