Episode 9: Penguntit

5 1 0
                                    

"Kerja bagus, bung. Tanpamu, aku pasti sudah mati."

"Ya. Aku pikir begitu. Aku masih penasaran dengan kedua anjing Bhiaj. Mengapa mereka benar-benar menginginkan Nona Marine?"

"Itu karena, Marine telah mencuri teknologi yang sedang dikembangkan oleh Bhiaj Techno."

"Me-mencuri?! Kenapa kita terlibat dengan aksi pencurian? Kita kan hanya organisasi agen mata-mata swasta. Tidak ada aksi pembunuhan. Mengapa bisa seperti itu?"

"Tenangkan dirimu, Bardi. Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu yang banyak. Tapi intinya, kalau kau tidak mau terlibat, itu urusanmu. Tapi ingat, kau tidak bisa pergi ke mana-mana."

"Apa maksudmu? Kau mencoba menipuku? Apa yang kau sembunyikan dariku?!"

"Tidak ada. Aku tidak mungkin menyembunyikan apa pun darimu. Kamu kenal aku sejak SMA, 'kan? Aku orang yang pendiam, tidak suka aksi pembullyan dan di-cap sebagai anak guru."

"Ya, tapi kau adalah pemabuk dan perokok aktif. Tapi aku memang mengenalmu sebagai seseorang yang loyal."

"Benar, 'kan! Aku tidak mungkin berbohong padamu. Percayalah padaku. Aku mengajakmu bekerja sama, di tempat ini hanya untuk membantumu keluar dari masalah finansial."

Siang itu benar-benar kacau. Pak Morgan harus dibawa ke rumah sakit. Pak Halton juga muncul dari ruangan bawah tanah untuk sekedar memeriksa sebentar, kemudian dia kembali lagi ke bawah.

Wanita yang menyambutku saat pertama kali menginjakkan kaki di toko penyamaran juga turut hadir. Dia membersihkan luka pukul di mata Joel.

"Hei, apakah kau juga terluka? Sini perlihatkan tubuhmu!" Wanita itu berbalik ke kursiku sambil membawa kotak P3K.

"T-tidak, kurasa."

"Sini perlihatkan tanganmu!" Dia meraih kedua tanganku. Memeriksa dari siku sampai jari-jemari.

"Jari-jemari kananmu memar. Aku obati, ya." Dia menggulung perban di tangan kananku.

"Ya sudah, aku akan kembali. Sampai jumpa Joel dan..."

"Bardi."

"Oh iya, Bardi. Aku Rose."

Dia pergi masuk ke dalam, menuju ruangan bawah tanah. Aku bangkit dari kursi, menuju balik meja kasir. Memunguti barang-barang yang terjatuh.

"Kau tidak perlu repot-repot melakukannya, biarkan wanita tadi yang membereskannya." Joel memekik sambil memperhatikan aku yang sedang mengambil barang-barang di lantai.

Aku merapikan barang-barang itu ke tempat semulanya, di atas meja. Lalu kuambil barang terakhir yang ikut terjatuh karena perkelahian tadi, bungkus plastik berisi gaun merah muda ukuran anak-anak.

"Sebuah gaun? Siapa gebetan barumu?"

"Ini gaun anak kecil."

"Kau memacari anak kecil?! Aku bisa menelpon lembaga perlindungan anak sekarang. Hahaha." Dia tertawa, bercanda.

Aku menatapnya dengan sinis, tidak suka diperlakukan seperti itu. Kemudian gelak tawanya terhenti. Perlahan dia terdiam, merapatkan tangannya di atas meja sambil termenung.

"Kau tahu."

"Tahu bulat?" pintaku.

"Tidak! Kau tahu, aku tidak pernah membeli gaun."

"Ya. Karena kamu laki-laki."

"Ayolah, aku sedang belajar bahasa kiasan."

"Hahaha. Aku paham maksudmu, memangnya kenapa?"

"Melihat teman-teman SMA yang sudah menikah membuatku sedikit galau. Aku tidak pernah berhasil meluluhkan satu pun hati seorang gadis."

"Kalau begitu, luluhkan saja hati janda."

Dia terdiam, menatapku dengan lama. Kemudian melempar pandangan ke bawah. Aku rasa, dia paham kalau aku bukanlah tempat baginya untuk membahas wanita.

Lagipula, aku masih trauma dengan wanita dewasa.

***

Waktu berlalu begitu cepat. Masalah perkelahian tadi belum menemukan titik terang. Toko penyamaran saat ini sedang tutup karena Pak Morgan selaku wajah pemilik bisnis ini sedang sekarat.

"Kau ikut menjenguk Pak Morgan?" Aku memperbaiki jaket kulitku dan menepuk pundak Joel.

"Tidak," balasnya. Dia fokus dengan ponselnya, membaca sebuah berita dengan headline yang lagi panas.

"Ya sudah. Aku juga tidak pergi menjenguk. Aku akan pulang. Sekarang sudah sore. Sampai jumpa."

Dia membalas dengan cara mendeham. Aku keluar dari toko penyamaran. Menuju sebuah taxi yang sedang nangkring di pinggir jalan, aku mendekatinya.

"Ke alamat seperti biasanya?" Pak Supir memasang sabuk pengaman.

"Ya."

Mobil mulai melaju pelan di jalanan Inggris yang padat. Banyak pejalan kaki yang menikmati pemandangan, orang kantor yang baru pulang dan beberapa pengemis jalanan.

Dalam perjalanan, aku tidak sengaja melihat dua preman itu lagi. Sepertinya dia tahu kalau aku ada di dalam mobil. Sementara, hari sudah sudah mulai gelap, perjalananku untuk sampai ke rumah tinggal beberapa ratus meter dari tempatku yang sekarang.

Kedua preman itu masih mengikutiku. Saat mobil mulai mendekati rumah, aku menyuruh Pak Supir untuk kembali tancap gas.

Dia mengikuti kemauanku setelah kutawarkan tip tambahan.

Mobil berputar di permukiman selama sepuluh menit. Aku memperhatikan jalanan di samping dan belakang, harap-harap dapat tahu ke mana perginya kedua preman itu.

Tidak ada lagi tanda-tanda mereka. Kuputuskan untuk kembali ke rumah. Mobil berhenti di depan rumah tetanggaku. Aku membayar upah dan tip kepada Pak Supir. Kemudian berjalan menuju rumahku.

Perasaanku tidak enak, rasanya ingin selalu kembali menatap ke belakang. Aku telah memperhatikan jalanan sebelum memutuskan untuk berhenti, dan aku tahu kalau jalanan sedang sepi.

Sementara itu, mobil bercat kuning itu, mobil taxi, sudah menjauhi rumahku.

Aku berjalan cepat, sedikit lagi akan kembali ke rumah. Perasaanku campur aduk, penasaran dan kesabaran. Namun rasa penasaranku lebih tinggi daripada gajiku sebagai akuntan. Alhasil, aku memutar badan dan mendapati seorang penguntit.

"Hai."

"Kau!"

Pincang SebelahOnde histórias criam vida. Descubra agora