Episode 15: Kembali Semua Hasrat Yang Sama

6 0 0
                                    

Dua jam berlalu di dalam ruangan berlatih.

Cedric mengucurkan keringat hingga membasahi lantai, walau begitu, dia tidak gentar dan tidak letih. Kecakapannya dalam hal ini benar-benar teruji, dia memang seorang profesional dalam tinju.

Sementara aku harus berjuang menangkis, menghindar, membuat ruang untuk meninju.

"Kau seperti ahli, tidak pernah aku lihat wajahmu di gym daerah ini atau pun pertandinganmu di televisi, apakah kau berlatih otodidak?" Cedric berdiri tegap namun santai, dia mengendorkan kewaspadaan dan terlihat meremahkan.

Namun setelahnya, dia kembali menguatkan kedua kakinya dan mengangkat dua tangan di depan wajahnya. Kepalanya sedikit menunduk dan bersembunyi di balik tangan. Cedric akan serius kali ini.

"TANGKIS INI, BARDI!" Dia maju, lalu meninju ke depan. Aku menghindar. Cedric secepat mungkin melakukan tinjuan menyamping dengan tangan sebelahnya.

Aku mulai belajar dari pertemuan kami sebelumnya, dengan sigap, aku menangkis tinju menyampingnya. Kulesatkan tinju ke wajahnya, Cedric menangkis dengan mudah. Dia kembali maju dan meninju, aku menangkis, kemudian menghindar untuk mencari ruang dan memulihkan tenaga.

"Sedari tadi kau hanya menangkis, mundur dan mencari ruang. Kapan kau berani menyerang?" Cedric mengangguk cepat sambil tersenyum, itu bukan perilaku memuji, dia sedang meremahkanku.

Sebagai lelaki yang punya nyali, remehan artinya tantangan. Aku menerima tantangan Cedric dalam artian kias.

Aku maju. Lalu meninju Cedric, dia menangkis, kulesatkan tinju menyamping. Tapi dia berhasil menangkis lagi.

Aku pernah bertanya kepadanya dahulu, apakah ini pertarungan boxing atau bebas? Dia menjawab dengan lugas bahwa ini adalah pertarungan bebas. Maka kutendang kakinya hingga dia terjatuh dan berguling satu kali.

Bunyi lantai yang keras bisa menjawab sebuah pertanyaan, yaitu apakah aku menang, atau dia patah tulang?

Maka dengan lantang dan memekik dengan bahasa tubuh, kusorakkan kemenangan atas patahnya tulang saudara baruku di pekerjaan ini.

***

Setelah detik itu, Cedric dibawa pergi oleh dua orang ber-jas. Cukup lama menunggu orang ber-jas yang kedua, karena harus menunggu kedatangannya dari markas kota.

Joel tiba dan mendekatiku. Dia menyaksikan semuanya di CCTV. Rahangnya tegas dan tak ada delikan senyum yang mewarnai pertemuan kami, hingga aku beranggapan bahwa dia marah karena ulahku, dan dia tidak senang karena aku telah melukai salah satu dari orang lama di organisasi rahasia ini.

Saat dia depanku, dia memegang bahuku, "Selamat, kau berhasil." Joel tersenyum ramah, keriput di ujung matanya menandakan bahwa itu sebuah senyum yang tulus dan bahagia.

"Kau tidak marah?" tanyaku.

"Marah kenapa? Kau melakukannya dengan baik. Jangan merasa bersalah, dia akan baik-baik saja, tenanglah."

Walaupun aku pernah menjadi seorang petinju yang haus akan kemenangan. Aku masihlah seorang laki-laki yang punya hati. Melihat seseorang yang lebih berumur dariku, tumbang di pentas yang tidak resmi, rasanya aku merasa bersalah karena menjatuhkannya.

"Ngomong-ngomong, Bardi. Kau sudah menerima notifikasi dari telepon genggammu?" tanya Joel, dia membuyarkan lamunanku.

"Notifikasi apa, ya?" Aku merogoh telepon genggam pribadi. Sebuah notifikasi dari mobile banking menyatakan bahwa seseorang telah mentransfer uang senilai sepuluh juta dolar.

"A-apa ini, Joel?" Aku tidak mampu menyembunyikan perasan kejut dan senang. Perasaan ini menyatu menjadi satu hingga aku menjadi gagap.

"Itu bonus untukmu." Joel tersenyum ramah, senyuman itu benar-benar bukan tipuan, dia tidak berbohong!

"Bonus apa? Aku tidak pernah menerima misi." Sekejap, aku menaruh curiga.

"Semua agen di sini menerima bonus sebelum mengerjakan misi. Dan kau juga sama, menerima bonus sebelum menjalani misi." Joel menjelaskan singkat.

"Ya sudah, gunakan baik-baik uang itu. Kau sedang butuh itu, aku akan pergi." Joel balik badan dan pergi meninggalkanku.

Secara halus, Joel bilang bahwa aku akan menerima misi. Aku penasaran misi seperti apa yang akan kujalani. Mengingat, uang yang kuterima adalah jumlah yang besar.

***

Waktu berjalan lebih dari enam jam. Walaupun ditinggal Cedric, aku tetap berlatih seorang diri. Mengambil belati dan belajar menebas, aku tahu belajar sendiri sama saja seperti melukis tanpa kuas, namun hanya itu yang bisa kulakukan.

Selain itu, banyaknya senapan menjadi destinasi hiburanku di sini. Aku meraih beragam jenis senjata: senapan serbu, senapan runduk dan pistol.

Untuk menghilangkan sakit telinga atas suara dari lesatan peluru senapan, kugunakan pelindung telinga (seperti headphone) untuk meredam suara tembakan.

Pukul lima sore, telepon genggamku berdering sebentar, aku lihat notifikasi dari Pak Garren bahwa aku bisa pulang.

Aku segera naik ke lantai atas. Di ruang tengah, kondisi tampak sunyi, orang ber-jas sepertinya belum kembali dari mengantar Cedric, atau mungkin dia memutuskan untuk kembali lebih dulu.

Sekejap, dari ruangan di sisi kiri, keluar Pak Garren. Dia melewatiku, dia tidak menghiraukan keberadaanku. Mungkin saja dia sedang banyak tanggungan pikiran, oleh karena itu kudiamkan saja dia.

Dia pergi ke ruang di sisi kanan seperti saat di pagi hari, saat aku bersua dengannya. Namun setelah melewati pintu, dia menutup pintu, sehingga aku tidak ingin kepo dengan urusan orang lain.

Aku beranjak keluar dari pintu yang mirip pintu kapal selam, menaiki tangga dan pergi dari peternakan. Ngomong-ngomong, lantai yang menyembunyikan ruangan rahasia bawah tanah di bawah peternakan akan tertutup sendiri saat seseorang menjauhi radar. Organisasi ini punya banyak teknologi mutakhir.

Lalu saat keluar dari peternakan, aku mencoba mencari taksi. Begitu ajaib, aku menemukan taksi yang biasa kutumpangi, saat ini sedang mangkal di depan peternakan.

Daripada memesan taksi online, sebaiknya kugunakan kesempatan ini. Aku lompat ke dalam mobil. Supir bertanya apakah aku ingin kembali ke rumah. Maka kujawab iya.

Mobil memacu empat roda dan dalam lima belas menit tiba di depan rumahku. Aku membayar upah. Kemudian taksi itu pergi dan hilang setelah berbelok di sebuah tikungan.

Hari sudah sore, cakrawala yang jingga mulai memggelap. Kunaiki teras yang terbuat dari kayu. Sontak, pintu rumah terbuka. Pekikan anakku menumbuh semangat hidup yang hilang.

Di belakang anakku bukan lagi hamparan ruang tamu yang kosong, dan hanya di isi perabotan. Saat ini, sesosok wanita berdiri dengan cantik sambil tersenyum ramah di hadapanku.

Malam itu kami bersenang-senang. Anakku telah kembali menerima ratunya. Sebagai seorang ksatria, sudah sepantasnya aku berjuang untuk menerima ratu kembali.

Puncaknya, aku menyenangi ratu rumah, setelah putri rumah merasa puas akan hangatnya malam.


Pincang SebelahDonde viven las historias. Descúbrelo ahora