Episode 12: Mengapa Pincang Sebelah?

11 0 0
                                    

"Manusia suka dengan sesuatu, akan lebih senang jika mereka tidak tahu cara mendapatkannya."
   
                                      •••

Gelap melanda langit di musim dingin. Perjalanan ini kurasakan sejak tujuh bulan yang lalu. Tidak pernah terpikirkan semua yang telah menimpa akan terjadi saat ini. Bahkan untuk sesuatu yang didefinisikan rindu bisa berwarna abu-abu.

Mantel dan sarung tangan itu dia lepaskan. Mendekap kedua tangannya untuk saling menghangatkan.

Jalan di tengah malam dari dapur ke ruang tamu. Kusajikan minuman hangat untuknya.

Berbalas budi, dia datang untuk itu. Berbalas budi karena aku pernah merawatnya, sekaligus membuangnya. Dia berpikir semuanya ulahku.

Dia yang salah, aku korban.

Dia yang memutuskan, aku hanya diam saat itu karena tahu dia akan kembali.

Pikirannya pendek. Apa yang dia lakukan sudah kutebak. Saudara perempuannya dengan niat aslinya.

Dia tahu semuanya dari wanita berkacamata bundar dengan rambut yang mulai memutih.

Menerima teh hangat dengan kedua tangan, dia mengusap kedua tangannya di permukaan gelas. Begitu dinginnya malam itu.

Dia terpaku diam, tak ada obrolan. Kutatap dia tanpa mengalihkan pandangan. Rasanya seperti mengintimidasi. Jarang-jarang kulihat wajah itu darinya.

Dia tahu yang dia lakukan. Dia berpikir lama setelah hari itu, dan dia pasti menyesal karena memilih pilihannya.
Sekarang, dia memasang wajah melas memohon kasih kepada orang yang dia beri noda.

"Apakah kau masih mencintaiku?" seru wanita itu.

Dia bilang bahwa aku harus mengakui cintaku. Padahal seluruh hidupku sudah kutuang dalam gelas untuk dia minum.

"Lebih dari yang kau bayangkan."

"Jadi, kau masih menerimaku?"

"Pikirkan sendiri."

"Aku mohon, aku sudah mengaku bersalah. Dan kita masih pasangan sah, kau belum menalak." Dia menopang lutut di atas lantai, memegangi kakiku sambil bersedekap wajah di atas pahaku.

Sungguh, jika dia tahu apa yang kulakukan untuk menyambungi hidupku dan anakku, dia pasti tidak akan datang, dia akan menanggung malu karena tahu aku menjadi pekerja kasar dan penjual koran jalanan.

Dia tidak tahu, dia pasti hanya tahu tentang gaun merah muda dan rasa sayangku kepada anakku.

"Sudah tujuh bulan dan kau akhirnya kembali."

Dia mendongak. Pipinya mengalir tangis seseguk. Aku tidak yakin kalau dia benar-benar terisak, atau itu hanya cara mengibul yang sudah ketinggalan zaman.

Lantas, pertanyaanku tidak dihiraukan. Dia mengusap tangisnya yang memenuhi segenap kelopak mata hingga pipi. Wajahnya dibersihkan.

"Aku berpikir kalau meninggalkanmu adalah pilihan terbaik. Dan saat itu aku tidak bisa menahan diri. Aku merusak dan pergi. Aku diam selama dua hari di bandara karena bimbang. Dan aku memantapkan diri untuk pergi setelah semuanya sudah kuperhitungkan."

"Jelas kau hanya cari aman. Kau memperhitungkan apa yang membuatmu nyaman, sementara aku dan anakku melarat di negeri orang."

Tak tahan menahan tangis atau sekedar akting. Dia menangis lantang di tengah malam saat semua mata sedang terpejam.

"Menangislah. Dan niatkan tangisan itu sebagai balasan atas semua pengkhianatanmu."

Jika kudefinisikan rasa bimbang karena logika dan cinta, maka frasa nomina yang pantas untuk meng-istilahkannya adalah pincang sebelah.

"Aku menyayangimu, kau sudah menemaniku dari nol. Kita bertemu saat kuliah, makan bersama dan saling bersua antar keluarga. Kau cinta kepadaku, aku juga cinta kepadamu. Aku berkomitmen kepadamu, sedangkan kau, apakah kau pantas menyebut dirimu berkomitmen?"

"Aku ingin memulainya dari awal. Aku tidak ingin apa yang kita mulai lenyap begitu saja, aku tahu ini adalah salahku. Karena itu, terimalah aku kembali, di antara kalian berdua."

Wanita itu bersifat keras, dia seperti ini sudah sedari dulu. Kutatap matanya, penuh penyesalan. Dia tidak bisa berbohong. Dan aku tidak pandai mengibul.

Pincang sebelah, logika dan cinta sulit disatukan. Saat idealis sudah lebih dulu ditetapkan, hasrat atau nama lain dari cinta bisa membuyarkannya.

Maka, tanpa kutahan sedikit pun idealis yang kuperjuangkan untuk anak semata wayang, bahwa dia harus melupakan segalanya yang pernah terjadi, bahwa dia harus selalu mendambakan seorang ksatria sejati, bukannya seorang ratu.

Semuanya harus dia lupakan. Semua yang telah terjadi tujuh bulan yang lalu dari sekarang, dan hanya mengingat hari-hari sebelum tujuh bulan yang lalu. Dengan artian lain, dia harus berusaha bungkam dan menyimpan semua rasa kesal dan kecewanya pada seorang ratu rumah, yakni ibunya.

"Kau tahu bahwa finansialku sudah kembali stabil dari kakakmu, 'kan?"

"Iya."

Dia termenung, menatap bawah. Dia gelisah, merasa bersalah. Entahkah dia seperti itu karena masih merasa bersalah kepadaku dan Githa, ataukah ada sesuatu lain yang dia sembunyikan.

"Syukurlah kau menikahiku, seorang pria yang bimbang. Selalu memikirkan nasib kedepannya, kau beruntung, sayang," kataku.

Dia menatapku, kelopak matanya kembali mengerut. Tangis akhirnya pecah di dalam istana yang terbengkalai lama karena ditinggal ratunya.

Aku mengelus rambutnya yang panjang. Walau sedang menangis, dia tetap terlihat cantik, tetap cantik seperti yang pernah kukatakan sebelum dia memutuskan pergi pada hari itu.

***

"Anakmu cantik, dia masih sama saat sedang tertidur."

"Kenapa kau bilang dia adalah anakku saja? Kau tidak ingin dipanggil ibu olehnya?"

"Aku belum pantas mendapat gelar itu, aku harus memperbaiki itu semua, bahkan jika perlu menempuh sepuluh tahun. Aku akan melakukannya."

"Kau jangan berusaha mengibulku lagi. Syukurlah kau tidak pernah berjanji seperti itu dahulu."

"Tapi sekarang aku telah berjanji di hadapanmu. Dan aku tidak akan mengingkarinya lagi, Bardiku sayang."

Wanita ini kembali murung. Aku penasaran, jadi kutanyai dia.

"Kenapa, hm?"

Lamunannya buyar, dia segera menatapku. Matanya masih sembab karena habis nangis.

Dia ingin berkata, tapi dia gagap seolah-olah lidahnya dipasung.

Aku masih menunggu dia menyelesaikan kalimatnya, sampai pada akhirnya, dia menyelesaikan sebuah kalimat yang menggentarkan hatiku.

Kalimat yang menimbulkan rasa bersalah dan penyesalan atas apa yang telah kulakukan. Karena kalimat itu, aku merasa bahwa diriku adalah orang jahat, dan terkutuk.

Sejak detik itu, aku dan Andin bergegas mencari taxi dan pergi ke rumah sakit.

Pincang SebelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang