8. Hilang

4.2K 338 11
                                    

Happy reading, jangan lupa vote dan comment nya. Terima kasih.

***

"Hati-hati di sana nanti. Ingat jangan pergi sendirian. Kalau mau kemana-mana minta temani teman perempuan kamu. Pokoknya jangan sendirian. Nggak boleh sendirian." Djenar tersenyum jahil pada Sofia.

Ini bukan kali pertama Djenar akan pergi ke Papua sebagai relawan. Tahun-tahun sebelumnya juga dia sudah melakukannya. Sofia tentu khawatir, di sana masih terbilang daerah yang belum punya fasilitas yang memadai. Air bersih masih cukup sulit didapatkan, penerangan juga belum ada. Jalanan juga belum ada. Aspal hanya untuk di kota, sementara mereka yang masih di pedalaman hanya ada jalan setapak yang sulit untuk dilalui.

Wisnu dan Sofia awalnya tidak setuju Djenar mendaftarkan diri sebagai relawan tetap setiap tahunnya. Tapi Djenar juga keras kepala kan. Dia bilang kalau dia ingin di hidupnya yang cuma begini-begini saja paling tidak dia bisa berguna untuk sesamanya.

Djenar menjadi relawan untuk mengajar matematika dan bahasa inggris. Lucu kan, dulu matematika pelajaran yang paling tidak Djenar kuasai, tapi sekarang dengan beraninya dia mengajarkan matematika. Memang bukan yang ribet seperti kalkulus, aljabar atau yang lainnya. Hanya matematika sederhana, tambah kurang kali bagi.

"Kamu harus pergi lagi tahun ini?" kini Wisnu yang angkat bicara setelah sebelumnya diam, ceritanya mau ngambek pada Djenar tapi tidak mempan. Djenar berjalan menghampiri Wisnu, memeluk Wisnu dari samping dengan manja. Seperti anak perempuan pada ayahnya.

"Om kalau ngambek hilang wibawanya. Biasanya kan kita yang dibikin ngambek sama Om." goda Djenar.

"Kamu setiap tahun kesana terus. Di sana bahaya Djen." kata Wisnu yang masih enggan melepas Djenar.

"Nggak kok, disana banyak TNI sama Polisi juga. Lagian Djenar disana nggak lama cuma sepuluh hari aja. Lagian anak-anak disana masih butuh kita Om. Paling nggak mereka punya pendidikan dasar yang cukup."

Wisnu hanya sebatas memberitahu. Dia tentu khawatir. Dia pernah tugas di sana, jadi Wisnu tahu seperti apa di Papua. Mungkin pembangunan sudah dijalankan, tapi jangan berharap sudah maksimal seperti daerah lain di Indonesia.

Jiwa sosial Djenar terlalu tinggi. Dari dulu selalu seperti itu. Wisnu pikir karena Djenar masih anak-anak, Djenar belum tahu dunia di luar sana seperti apa kejamnya. Jadi selagi dia bisa berbuat baik kenapa tidak. Ternyata sekarang pun Djenar masih sama. Masih terlalu memikirkan orang lain ketimbang dirinya sendiri, sama seperti Widya.

"Lama-lama Om pasangkan GPS juga di kalung kamu supaya Om tenang." celetuk Wisnu. Djenar tertawa mendengarnya. Wisnu sudah seperti merelakan anak usia delapan tahun pergi jauh, padahal Djenar sudah tua.

"Berlebihan. Santai saja Om. Tenang, disana banyak orang dan aman. Kalaupun sampai nggak aman, Djenar percaya om-om TNI dan Polisi akan menjaga Djenar disana. Tinggal bilang aja saya keponakannya Jenderal Wisnu Adiputra, mereka pasti mau disuruh gotong Djenar dari Papua ke Jakarta juga."

Wisnu menjewer telinga Djenar, membuat perempuan itu meringis kesakitan tapi tetap masih bisa tertawa. "Kenapa gak bisa normal sedikit sih Djen. Normal aja gitu loh, jangan begini." Djenar sibuk mengusap daun telinga nya yang memerah. Menurut Wisnu Djenar agak kurang normal sebagai manusia. Tapi jangan lupa tolak ukur normal Wisnu kan disitu-situ saja, seputar perwira. Mana bisa Djenar jadi seperti mereka.

"Jangan marah-marah terus ih, nanti kerutannya makin banyak. Pas di foto jadi Menteri malah jelek lagi." goda Djenar.

"Om kan belum kasih jawaban mau atau tidak." sahut Wisnu acuh. Berlaga seperti tidak ingin padahal Djenar tahu Wisnu adalah orang yang ambisius dan punya segudang mimpi untuk membangun negara tercinta. Entah apa yang membuat Wisnu tampak berat hati menerimanya.

Buku Resep Cinta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang