5 mei 2024.
Terbangun dalam ketidaknyamanan dan kekuatan, mata yang sehari harinya memancarkan kecerahan itu hilang bak mengikuti kegelapan yang sempat membungkus bumi; enggan memberikan kesempatan meninggalkannya kembali ke tempatnya semula saat matahari telah terbit di ufuk timur.
Bangun menjauhi keempukan ranjang yang tak berguna, dengan lunglai menuju ke arah jendela kamar yang gordennya telah dikesampingkan ke kiri. Mata perih itu mencoba menerima cahaya yang diberikan. Mencoba menikmati meskipun dia tau itu tak akan membuat senyumnya merekah seperti biasanya. Helaan nafas pun ikut membaur mengikuti ketidakmood - tan yang memenuhi seisi kamar.
Berbagai memory pun tanpa izin mulai bergerak bak kereta api Shikansen di Jepang. Terlalu laju saling bergantian memutar kenangan lama hingga memenuhi pikiran. Matanya kembali perih; bulir air mata juga mulai terasa mengetuk ngetuk pintu meminta untuk dibukakan agar bisa keluar dengan bebas.
Menggigit bibir bawahnya, dia masih kukuh menutup pintu itu rapat rapat. Jangan jatuh lagi. Setidaknya biarkan dia istirahat darinya untuk sejenak.
10 menit berdiam diri disitu, hingga pintu dibuka dari luar sedikit mengambil atensinya. Tak berbalik untuk mencari tau siapa itu. Dia membiarkan sang tamu mengatakan sendiri tujuannya.
"Ci, udah saatnya kan?" suara si bungsu terdengar jelas dari arah belakang. Menghadirkan helaan tipis diikuti tubuh yang berbalik ke arah pria muda itu. Dan saat itu juga alarm ponsel sang pemilik kamar terdengar berdendang. Keduanya reflek menengok kearah datangnya suara nyaring memekakan telinga itu.
Pria dengan tanda lahir di dagu seperti kepunyaan sang kakak itu terlihat menuju ke arah ranjang. Meraih benda pintar yang tiduran di atasnya lalu mematikan suara yang berbunyi itu.
"aku tunggu di bawah, kan harus pergi lebih awal. Kita mau ambil bunga dulu kan?" ucap pria itu lagi yang di balas anggukan oleh sang kakak.
Melihat anggukan tak bersemangat itu membuat langkah Jason, si bungsu keluarga Harlan berlahan mendekati dan memberikan pelukan penyemangat. Tak mengeluarkan sepatah kata, karena dia tau Gracia kakaknya tak membutuhkan banyak kalimat. Sentuhan kulit sudah lebih dari cukup menyalurkan semangat dan ketenangan.
.Menatap kedua bunga ditangan; bunga miliknya dan juga Feni yang akan diberikan untuk Shani membuat kesedihan kembali menyelimutinya.
Jason di belakangnya yang hari ini mengantar dan menemaninya lebih awal terlihat berjalan dengan khawatir akan kondisi kakaknya itu. Tak membuat percakapan, Jason juga ragu untuk mengeluarkan sepatah kata.
Saat menunggu lift dengan kediaman, sentuhan lembut di pundak kanan menghentak Gracia dari lamunan sesaatnya. Berbalik, dan dia terkejut dengan siapa dia berhadapan.
"Cici?!!" Reflek dia menatap adiknya juga. Bagaimana mungkin dia tak memberitahu ada Shani mendekat.
Tawa kecil dan lembut mengalun kemudian. Gadis Indira itu tak menolak fakta jika kekagetan yang dia buat pada gadis bergingsul dihadapannya benarlah menggemaskan meskipun tertutup masker. Sedih, dia tak bisa menangkap moment tersebut dengan kameranya. Dia lambat merekam.