15 juni 2024.
Memandang pantulan diri dari kaca disamping kanannya. Pemandangan malam kota yang sudah dia tinggalkan 2 minggu lebih terlihat menghiasi matanya.
Senyum terbentuk dalam masker yang dikenakan. Betapa rindunya dia melihat semua ini. Bahkan dalam hitungan waktu yang tak lama lagi, pesawat yang tengah membawanya ini akan segera mendarat di kota tempat Ia tinggal.
Tak terlalu malam saat pesawat mendarat. Melirik kesegala arah dan kedua mata cokelatnya menemukan keluarga nya tengah menunggu dirinya sambil melambai antusias.
Langkah kaki pun membawanya mendekati. Pelukan erat melepas kerinduan dilakukan.
"Pulang juga anak mama"
Terkekeh kecil akibat itu. "Iya. Rindu banget masakan mama di rumah" poutan kecil terbentuk dalam masker putih yang masih membelenggu.
"Rindu masakan mama atau rindu Shani kamu, hm?"
"Ih. Kok gitu?" cemberut gadis sulung Harlan itu. Pasalnya kedua pernyataan itu berbeda arah. Apa hubungan nya antara masakan dan gadis miliknya itu?
Wanita paruh baya itu terkekeh mendengar renggutan kekesalan sang Puteri. Berbeda dengan 3 pria di sekitar mereka yang dari tadi sibuk dengan koper si sulung. Memperebutkan siapa yang akan membawa.
"Ngomong ngomong Shani nggak dateng jemput kamu?" tanya sang ibunda lagi saat mereka membuat langkah untuk keluar dari hirak piruk orang orang di bandara.
"Nggak ma. Cici lembur hari ini. Aku juga nggak mau maksa kehendak aku buat ketemu dia saat ini juga kok" ucap Gracia melirik kecil ponselnya. Membaca notif chat terakhir Shani yang belum dia balas.
"Iya. Gitu lebih baik. Jangan egois dalam suatu hubungan" nasehat wanita paruh baya itu. "Jadi tanggepin Shani dengan baik ya sayang. Dia juga pasti pengen banget ketemu kamu. Cuma yaa.. Malam ini bukan waktunya"
"Iya. Nia paham, ma. Tenang aja" balas Gracia. "Aku udah kasih penjelasan juga kok ke cici kalau aku nggak marah. Cuma ya gitu, calon mantu mama itu overthinking nya terlalu gede. Malah dia yang panik aku pundungan cuma karena dia nggak bisa jemput kesini"
"Shani kayak gitu karena tau sifat kamu, sayang" celetuk pria paruh baya yang tengah menarik salah satu koper milik puterinya itu.
"Ih papa. Nggak ada yaa.." bantah Gracia tak terima. Yang cuma dibalas tawa dari keluarga harmonis nya itu. "Lagian ak-" ucapan tiba tiba terhenti kala ponsel di tangan bergetar menandakan suatu panggilan tengah masuk.
Si pemilik melirik ke situ. "Panjang umur kan... Anaknya telpohone" Ucap Gracia pada keluarganya. "Dek, jangan arahin kamera kamu ke cici dulu yaa.. " pintanya menatap Ecen si bungsu. Yang dari tadi sibuk menyorotnya untuk konten youtube nya.
"Iya ci" angguk Ecen. Dia pun tau batas privasi sang kakak.
Panggilan pun di angkat Gracia. Earphone yang tengah digunakan membuatnya lebih mudah melakukan percakapan. Benda pintarnya pun terlihat kembali dia letakkan di saku belakang celananya.
"Hallo ci?" jawabnya
"Kamu udah dimana? Masih di bandara kah? Atau udah sampe rumah? Kenapa kamu nggak bales pesan pesan aku, Ge? Aku khawatir" Rentetan pertanyaan menyapa indera pendengar Gracia. Terkejut tapi tak bisa melarang.
"Aku masih di bandara, Ci. Lagi jalan ke tempat parkir" jawab Gracia. "Dan maaf aku nggak segera balas pesan kamu. Tadi rencana kalau udah di rumah bakal aku telphone laporin langsung"
"Ya udah. Nggak apa apa. Yang penting aku tau kamu udah sama keluarga kamu sekarang" balas Shani bernafas lega. "Um..sayang~"
"Iya?"