02

9 4 0
                                    

"Tampaknya trauma masa lalunya kembali muncul, itu menyebabkan nak Harrison mengalami panic attack yang parah. Bahkan ketakutannya akan darah kembali muncul, setelah beberapa minggu ini tidak ada masalah." --Dokter menjelaskannya dengan pelan.

Ia menyatukan kedua tangannya, tersenyum ramah kearah Harrison dan ibunya. Menatap secara bergantian.

"Kalau tidak keberatan, apa yang menjadi pemicu dari hal itu?" Tanyanya hati-hati.

Harrison, menatap hampa kearah meja sang dokter. Mulutnya terbuka tetapi tidak ada sahutan apapun yang Ia keluarkan. Sejenak Ia menghela nafas cukup panjang dan terkesan berat.

Dokter dan sang ibu menunggu dengan tabah jawaban dari Harrison.

"..Aku.. melihat.. dia." Ucapnya pelan, bahkan terdengar berbisik.

Sang dokter mendengarkan dengan seksama, "Dia? Siapa yang kau maksud?" Tanyanya dengan nada halus. Tidak lupa senyuman ramah yang masih terpampang.

"Dia.. Lelaki bermarga.. Axton.." Lanjut Harrison.

Ibu Harrison seketika menatapnya kaget, Ia langsung memegangi kedua pundak anaknya. "Harri! Ibu sudah katakan anak bermarga Axton itu tidak ada!" Tegurnya.

"Nyonya Sinclair, mohon biarkan anak anda berbicara dahulu." Sahut dokter.

Ibu Harrison segera melepaskan genggamannya, Ia menatap khawatir sang anak. Tetapi berbeda dengan Harrison yang tampak tidak bereaksi apapun, tatapannya mati.

".. Dia.. anak yang misterius.. korban bully.."

".. pembunuh.. dia membunuh teman.. temanku.." Raut wajah Harrison perlahan berubah, Ia menekuk kedua alisnya dan menunjukkan ekspresi kesalnya. Mengingat kejadian di masa lalu.

Tangannya yang diperban mengepal, giginya menggertak. "Brengsek.. anak itu.. sengaja.. membiarkanku hidup.. untuk menyiksaku.." Urat di lehernya menonjol, tiba-tiba amarah Harrison meledak di saat itu juga.

"Akan ku bunuh.. Akan ku bunuh anak sialan itu!!" Ia menggebrak meja.

Dokter menatapnya dengan tenang, tatapannya berbeda jauh dengan tatapan Harrison yang menunjukkan kebenciannya secara mendalam.

"Dokter.. kenapa kau diam saja..? Apa yang harus ku lakukan..? Apa yang harus ku lakukan.. agar anak sialan itu menghilang dari mimpi ku ini!! Arghh!!" Harrison tiba-tiba menjambak rambutnya.

Ibunya, menatap kaget akibat perilaku anaknya yang mendadak berubah. "Harri! Hentikan! Kau hanya akan menyiksa dirimu sendiri!" Ucapnya menarik kedua tangan anaknya agar berhenti menjambak dirinya sendiri.

Dokter itu menulis beberapa kalimat di kertas resep obat, Ia merobeknya lalu memberikan kepada sang ibu.

"Harrison harus baca istirahat, jauhkan dia dari aktivitas yang membebani pikirannya. Makannya harus teratur, dan hindari benda tajam." Sarannya.

Ibu Harrison mengangguk paham, membawa anaknya yang mulai tenang. "Terima kasih banyak, dokter." Pamitnya sebelum menutup pintu keluar.

Mereka memberikan resep obat itu kepada perawat, untuk ditukarkan dengan obat yang sesuai resep. Harrison duduk di sofa, menunggu ibunya mengurusi adminstrasi.

Tatapannya lagi-lagi hampa, menatap kearah lantai sampai sepasang sepatu pantofel berdiri dihadapannya. Membuat lelaki berambut cokelat muda itu mengangkat kepalanya.

Matanya perlahan melebar, mendapati sosok lelaki bertopeng itu lagi. Belum sempat bersuara, tangan lelaki itu langsung mencekik lehernya Harrison, menahannya di tembok.

"..Argh.. ukh.." Harrison mencengkram lengan lelaki itu.

Nafasnya tercekat, Ia mulai kehilangan kesadarannya. Cengkraman tangannya melemah seiring waktu, matanya masih menatap tajam kearah topeng dengan wajah tersenyum itu. Menyeramkan.

"Le.. pas.. breng.. sek.."

Lagi-lagi lelaki bertopeng itu hanya memiringkan kepalanya, sebelum tiba-tiba pandangan Harrison menggelap.

FEAR : Smilling Key Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin