03

5 4 0
                                    

"Kau ini! Berhenti menyakiti dirimu sendiri, ibu semakin khawatir jika harus meninggalkanmu."

Harrison memeganginya lehernya, setelah tak sadarkan diri. Ia dibawa pulang ke rumah, Ibunya berkata bahwa Ia mencekik dirinya sendiri hingga pingsan. Tanpa alasan yang jelas.

"Itu bukan aku.." Harrison membela diri.

Sang ibu menatapnya heran, perilaku putranya semakin jadi tanda tanya besar dibenaknya. Ia hanya menghela nafas, menarik selimut sang anak lalu memegang tangannya.

"Ibu tau, kecelakaan yang teman-teman mu alami pasti berat. Tapi ibu mohon, jangan bawa perasaan salah di dalam dirimu."

Harrison menatap ibunya nanar, menghela nafas lalu mengangguk. Satu-satunya yang bisa Ia lakukan adalah menuruti kemauan sang ibu, Ia tidak mau ibu nya khawatir dengan keadaannya.

"..Baiklah, maaf bu." Ucapnya.

Ibunya beranjak dari kursi, mengecup kening sang anak lalu berjalan keluar dari kamar sang anak. Harrison menyenderkan punggungnya ke dinding, menatap kearah jendela yang terbuka.

Pikirannya perlahan hanyut.

Suara-suara bisikan, terdengar jelas di kuping kanan dan kirinya. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat memori masa lalunya yang mati-matian Ia kubur dalam.

Ia menutup kedua kupingnya, mencoba mengingat kembali pembicaraan teman-temannya. Dahinya mengernyit, sekilas Ia bisa mendengar ingatannya.

"......Axton."

".... Maksudmu.. #$?!@ ... Axton..?"

Apa ini, kenapa yang Ia ingat hanya marganya saja?

Harrison sekali lagi mencoba mengingat-ingat pembicaraannya dengan teman-temannya.

"... Bukankah.. menyenangkan..?"

"... Mainan.. kita.."

Kepala Harrison mendadak berdenyut kembali, Ia meringis kesakitan dan memutuskan berhenti mengingatnya. Tetapi, satu kata yang terus terngiang-ngiang di pikirannya membuat otaknya memanas.

Axton. Axton. Axton.

Sebenarnya, Siapa Axton?

Jika mengandalkan pemikirannya pun tidak bisa, Harrison sejenak mencoba menenangkan otak. Ia tau ibu nya akan marah jika memergoki dirinya bermain laptop, maka satu-satunya jalan adalah menunggu penghuni rumah ini tidur atau pergi keluar.

Harrison mengeluarkan kedua kakinya dari selimut, menginjak lantai yang dingin. Ia memandangi kedua tangannya yang terbalut perban baru, wangi obat masih tercium dari tangannya.

Ia beranjak dari kasur, melangkah kearah lemari, mencari sesuatu. Tangannya meraih sebuah buku bercover tebal, itu adalah buku tahunan sekolahnya.

Menutup lemari itu kembali, Harrison berjalan ke kasurnya. Duduk dan membuka buku itu, membaca setiap data dari murid laki-laki yang terdaftar di sekolah elit tersebut.

Sekolah yang hanya dikhususkan untuk laki-laki.

Ia membolak-balik halaman, tapi tidak ada satupun marga Axton yang tertera di buku kenangan tersebut. Harrison menghela nafas berat, apakah selama ini Ia benar-benar berhalusinasi?

Ia menatap halaman yang sedang Ia buka, tatapannya perlahan semakin mendalam saat melihat sosok foto anak laki-laki. Rambut hitam yang cukup panjang dan berantakan, iris mata tajam, tidak ada senyuman terpampang diwajahnya.

Anak itu bernama.. Kellan Axl.

Mata Harrison berkedip beberapa kali, Ia mendadak ragu. Perawakannya percis seperti Ia bayangkan, tapi apakah benar Ia orang yang dicari?

Ia semakin meragukan dirinya sendiri sekarang.

Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, menampilkan sosok sang ibu yang membawakannya se nampan makanan dan obat yang disarankan dokter.

"Apa yang sedang kau lakukan?"

Harrison hanya menyungging senyuman tipis sekilas, "Aku merindukan masa sekolahku." Balasnya kembali melihat tiap halaman. Sang ibu tersenyum simpul melihatnya, Ia meletakkan nampannya di meja nakas.

"Jangan memaksakan dirimu mengingat masa lalu, nak. Ibu tidak mau kamu mengalami depresi berat, sama seperti masa lalu.." Ucap sang ibu dengan nada khawatir.

Harrison mengangkat kepalanya, Ia menutup buku kenangan itu lalu meletakkannya disampingnya. Ia mengangguk paham.

"Makanlah, lalu minum obat. Ibu dan Ayah akan pergi sekitar jam 5 sore nanti, apakah kamu tidak masalah jika kita meninggalkan mu?"

Mata Harrison seketika membulat tanpa sadar, "Tidak apa-apa, aku akan istirahat selama ayah dan ibu pergi." Balasnya secara spontan. Sang ibu menatap anaknya khawatir lalu tersenyum teduh sejenak.

"Baiklah, ibu akan menyiapkan makanan untuk sore nanti." Ia menutup pintu kamar.

Harrison langsung mengambil mangkuk sup yang menjadi makanannya kali ini, setelah menghabiskannya Ia langsung meminum obat.

FEAR : Smilling Key Where stories live. Discover now