17. AKSA DELVIN ARION

428 55 4
                                    

“Laki-laki yang tidak bisa menghormati wanita bahkan melecehkannya adalau laki-laki paling kotor!”

—Afifah As-syifa

.
.
.
.
.
.

"Maaf, saya nggak sengaj—" belum sempat berbicara lebih panjang, laki-laki ini menatap wajah Afifah yang juga ia ingat.

Dengan perasaan takut, Afifah pergi begitu saja tanpa mengambil rotinya, namun laki-laki itu justru mengejarnya.

"Eh, tunggu!"

Sampai akhirnya pergelangan tangan Afifah ditarik begitu saja ditempat yang begitu sepi, alias didekat kamar mayat.

"Lepas!" ucap Afifah, wajahnya begitu pucat, nafasnya menggebu-gebu.

"Gue cuman mau ngasih roti lo yang tadi jatuh." ucap laki-laki itu lagi lagi memberikan roti itu pada Afifah, tapi Afifah tidak menerimanya. "Btw, lo cewe yang malam itu, kan?"

"Ah, iya. Lo cewe yang waktu itu gue—"

"Lecehkan?" ucap Afifah memotong ucapan laki-laki itu. "Laki-laki seperti anda adalah laki-laki brengsek, laki-laki kotor!"

Laki-laki itu mengerutkan keningnya. "What? Brengsek? Salah lo juga, kan? Ngapain keluyuran malam-malam? Cewe kok keluyuran malam-malam."

"Btw, lo hamil nggak?" tanyanya menaikan kedua halisnya.

"Ini semua gara-gara anda!"

Laki-laki itu tersenyum sembari mengangguk anggukan kepalanya. "Oh, berarti, itu anak gue?"

"Anak saya!"

"Iya, anak gue."

"Nggak! Ini anak saya, bukan anak anda!"

"Kan bikinnya berdua sama gue, berarti anak gue." ucapnya membuat Afifah pergi, namun lagi lagi ditahan. "Lo bergerak atau pergi, gue pake lo lagi."

Ah, perasaan Afifah semakin gugup tak karuan. Apakah tidak ada orang untuk bisa menolongnya? Ia tidak mau kejadian itu kembali terjadi.

"Anak ini, anak gue." laki-laki ini memegang perut Afifah, membuatnya langsung menepis tangannya.

Cih, suaminya saja jarang memegang perutnya, mengapa dia begitu tidak sopan.

"Pokoknya kalo lo hamil, itu anak gue. Kalo lo ngelahirin, gue juga harus tau, karna itu anak gue. Lo harus kasih juga anak itu ke gue!"

"Sekali lagi anda bilang ini anak anda, saya akan laporin anda ke polisi!"

"Eits! Berani laporin, gue akan ikutin lo kemana pun, bahkan gue juga bisa malam itu kembali terjadi." bisik laki-laki itu sembari menunjuk wajah Afifah.

Perempuan ini segera berlari dari tempat itu, sedang laki-laki ini hanya terkekeh.

"Ternyata gue bisa ketemu lagi sama itu cewe."

...

"Assalamu'alaikum," ucap Afifah saat masuk ke dalam ruangan dengan nafas yang menggebu-gebu.

"Wa'alaikumsalam. Kamu kenapa? Lari-larian, ya? Kok panik?" tanya Alea.

Afifah menghampiri, lalu duduk. "Nggak papa Bunda," ucapnya tersenyum seakan tak terjadi apa-apa.

"Oh, mana rotinya?"

"Aduh... Ternyata stock rotinya kosong Bunda, jadi Afifah nggak beli apa-apa."

"Yaudah, nggak papa."

...

"Sayang, kamu dari mana saja?" tanya perempuan paruh baya yang tengah terbaring diatas brankar.

Laki-laki yang baru saja masuk dan menghampiri itu tersenyum. "Aksa dari toilet sebentar tadi," ucapnya tersenyum sembari mengelus rambut hitam sang Ibu.

Laki-laki bernama panjang Aksa Delvin Arion itu anak semata wayang dari seorang pengusaha yang bernama Albert Brave Eart yang kini sudah menikah lagi dengan wanita lain. Aksa benar-benar membenci sang Ayah karna sudah selingkuh, bahkan membuat Ibunya sempat depresi bahkan sekarang menjadi sakit-sakitan karna terlalu banyak merenung.

Ternyata, Ayahnya itu menikahi Ibunya hanya karna hartanya saja.

"Mama kapan pulang? Mama bosan dirumah sakit terus," ucap sang Ibu.

"Kata Dokter, Mama belum boleh pulang."

"Kapan bolehnya? Mama udah nggak betah disini."

"Mama kan sakit, supaya Mama cepat sembuh, Mama harus dirawat. Mama mau sembuh, kan?"

"Iya,"

••••••••••••

Hari sudah berlalu, Alea pun sudah kembali kerumah dengan keadaan kembali sehat-sehat. Beda halnya dengan Afifah yang justru banyak merenung setelah pulang dari rumah sakit, hal itu lagi lagi membuat Afif heran.

"Kalo laki-laki itu datang lagi jika aku sudah melahirkan, lalu mengakui ini adalah anaknya, bagaimana? Apakah aku harus memberikannya? Apakah anakku nanti harus tahu bahwa dia Ayahnya?"

Perempuan itu berkali-kali berbicara dengan hati dan pikirannya. Dirinya benar-benar bingung.

"Nggak. Anakku nggak boleh tahu kalo ini adalah anaknya, anak ini anakku, bukan anak dia."

Afif yang tengah duduk diatas kursi sembari mengerjakan sesuatu itu dialihkan dengan istrinya yang tengah merenung. Afif beranjak dari kursi, lalu menghampiri dan duduk disamping sang istri.

"Kamu kenapa?" suara itu berhasil membuat Afifah beralih pandangan pada Afif.

"Nggak papa, Gus." ucapnya tersenyum. "Aku mau bicara sama Gus, boleh?"

"Boleh, bicara apa?"

Afifah terdiam beberapa detik sembari menghela nafasnya, lalu menatap sang suami. "Gus terima anak ini, kan? Gus anggap anak ini anak Gus, kan?"

Afif menaikan kedua halisnya. "Harus berapa kali saya bicara untuk meyakinkan kamu kalo anak ini saya anggap anak saya?"

"Aku takut kalo suatu saat nanti anak ini bertemu Ayahnya. Bagaimana kalo Ayahnya meminta anak ini?"

Afif terdiam setelah Afifah mengucapkan itu, dirinya pun bingung.

"Itu hak kamu. Mau memberikan anak itu, atau tidak, karna saya tidak punya hak untuk anak itu. Tapi, saya harap anak itu tidak mengetahui kejadian apa sebelum ia tumbuh diperut kamu." ucapnya yang kemudian beranjak dari duduknya.

"Hari ini jadwal kontrol ke Dokter kandungan, saya tunggu kamu dimobil."

••••••••••••••

Sesampainya dirumah sakit dan diperiksa, Afifah tengah menunggu suaminya untuk mengambil obat. Ia duduk sembari melihat-lihat orang yang berlalu lalang.

Sampai akhirnya perempuan ini dikejutkan dengan laki-laki yang tiba-tiba berada disampingnya.

"Hallo, lagi cek anak gue, ya?"

Sontak Afifah menoleh dan menjauh dari laki-laki itu. "Apa mau anda?!" ucapnya, mengapa laki-laki ini ada dimana-mana.

"Mau anak gue," ucap Aksa tersenyum. "Sendirian aja? Mau gue temenin?"

"Nggak perlu, saya ditemani suami saya!"

"Oh. Btw, suami lo tau kan kalo itu..." Aksa menunjuk ke arah perut Afifah. "Anak gue?"

"Bukan urusan anda!" Afifah beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan Aksa yang justru terkekeh.

#ToBeContinued

KISAH KITA Where stories live. Discover now