(36) Diary-ku

8 4 0
                                    

Hawa malam yang seperti menusuk setiap tulang beluang Zea kecil. Gadis itu meringkuk ketakutan dibawah tangga, menunggu kedatangan orang tuanya.

Kebetulan saja, Gio melihatnya. Ingin sekali Gio memeluknya lalu memberi semangat kepadanya, namun itu semua hanya harapan semata. Nyatanya ia memilih abai.

Hati Zea sakit melihat itu, sudah jelas disini keluarga nya tidak ada yang menyayanginya. Ia menangis sesegukan.

"Mas Ilmi, aku takut mas"

Zea yang sekarang kini duduk di bangku SMP kelas 9 itu merindukan seseorang yang membuatnya nyaman. Bahkan ia lebih menyayangi nya daripada menyayangi keluarga nya sendiri.

Hujan turun dengan tiba-tiba, disertai suara gluduk dengan tambahan sambaran petir membuat Zea ketakutan setengah mati. Lalu ia berlari tak tau arah sampai ia tak sengaja menjatuhkan pot kesayangan mamanya.

Pyar

Zea memejamkan matanya, tidak ada yang memeluknya, tidak ada yang menenangkannya. Perlahan Zea berjongkok, tapi ia masih belum berani membuka matanya.

Brak

Tiba-tiba saja pintu di dobrak keras oleh Wijaya, bajunya sudah basah kuyup akibat macet tadi. Sedangkan Raissa hanya basah sedikit di bagian lengan dressnya.

Zea yang mendengar suara dari luar yang ia duga adalah orang tuanya, segera ia membersihkan pecahan pot itu. Namun baru saja hendak menyentuh, suara gluduk menyambar pada pendengaran Zea. Anak itu hilang kendali, dan ia menutup telinganya kuat-kuat. Juga menutup matanya.

"Apa yang kamu lakukan anak durhaka"

Plak

Zea terdorong ke belakang, ia masih setia menutup matanya. Raissa syok melihat pot kesayangannya pecah, tentu saja ia yakin pelakunya adalah Zea.

"Dasar anak tak tau diuntung"

Terakhir Raissa mendorong lebih kuat lagi. Zea meringis kesakitan ketika tangan kanannya yang ia gunakan untuk sandaran jatuh malah terasa sakit sekali.

Raissa meninggalkan Zea tanpa menoleh sedikit pun padanya, sama dengan Wijaya. Pria itu langsung melesat pergi tanpa ada niatan membantu Zea.

Air mata Zea lolos turun dari tempatnya. Ia menggigit bibirnya merasakan sakit yang luar biasa, ia membuka matanya. Ia hanya bisa menangis tanpa suara.

Beberapa jam kemudian

"Aku capek, Aku lebih baik mati daripada harus ditekan untuk hidup"

Zea mengambil pisau kecil, lalu menyayat nyayat lengannya yang kini sudah terlihat banyak darah disana, bukannya menangis. Zea malah tertawa, lebih tepatnya menertawai akan nasibnya.

Ia sudah sering melakukan ini, mungkin dihitung hampir 10 kali ia melukai dirinya sendiri. Setelah merasa puas menyayat lengannya, Zea beralih membuat gantungan tali yang diikat.

Benar, Zea ingin langsung mengakhiri hidupnya. Semuanya sudah siap, dia tersenyum. Lalu mulai menjalankan aksinya, kursinya ia dorong hingga ia benar-benar melayang.

Tali itu semakin memilit Zea hingga kesadaran nya mulai menghilang.

🥀🥀🥀

Zea terbangun, ruangan yang bernuansa putih. Tanpa sadar senyumnya terbit, dia berharap ia tidak berada di dunia kejam lagi. Namun senyumnya luntur disaat ada seseorang yang masuk, yang tak lain adalah Wijaya.

AushaltenWhere stories live. Discover now