34|kebenaran

68 13 0
                                    

Rumah ayah

Pov gibran

Pagi ini aku duduk sendirian di ruang makan. Sejak kemarin, dirumah ini hanya ada aku dan mbak rita saja. Ayah tak pulang semalam, tak ada kabar pula. Aku sudah mencoba menghubungi om jafran; sekertaris pribadi ayah. Tapi katanya, beliau sedang ada perjalanan bisnis ke palembang sejak dua hari yang lalu.

"Mas gibran mau saya ambilkan susu atau air mineral saja?"

Suara mbak rita membuat aku tersadar dari lamunan pagi ini.

"Nanti gibran ambil sendiri aja mbak, mbak rita langsung beres-beres aja ngga masalah"

"Beneran mas?" Aku mengangguk, lalu mbak rita pergi meninggalkan ku sendirian di ruang makan.

Baru kali ini ayah tak pulang bahkan tak ada kabar. Biasanya, jika ayah menginap dikantor pasti tak pernah absen memberikan kabar kepadaku. Tapi kali ini? Entah kemana perginya beliau sampai tak memberikan kabar kepadaku barang sedikitpun. Aku tak berniat untuk datang ke kantor ayah, karna kantor beliau itu sudah banyak cabang. Jujur saja aku bingung mau datang ke kantor yang mana.

Kemarin sore, aku sempat menelfon salah satu orang yang bekerja dikantor ayah; om andrian. Beliau second secertary milik ayah setelah om jafran. Tapi beliau bilang, sore itu ayah sudah pulang bersama beliau. Entahlah, aku sedang tak ingin dibuat pusing hari ini.

Aku membuang nafasku kasar. Tak ada ibu, tak ada mamas, bahkan sosok ayah yang harusnya ada disini bersamaku pun entah kemana perginya beliau. Aku hanya sendiri, tak ada yang bisa ku ajak untuk berbagi seperti saat aku dengan mamas.

Setelah menghabiskan sarapanku, aku menaruh alat makan kotor itu ke wastafel lalu bergegas keluar rumah menuju ke kampus. Hari ini ada kelas pagi, tapi rasanya aku sedang tak bersemangat untuk hadir ke kampus.

Baru saja aku hendak menjalankan mobil mamas, tiba-tiba saja ponselku berdering, dengan sebuah nama 'mas geri' disana.

"Halo mas, kenapa?"

"Ayah kemana ya dek, nomornya ngga bisa dihubungin dari kemaren sore?"

"Gibran juga ngga tau mas, semalem ayah ngga pulang. Kemaren sore gibran sempet nanya ke om andrian katanya ayah pulang bareng beliau, tapi sampe sekarang ayah ngga pulang ke rumah"

Terdengar helaan nafas milik mamas disebrang telfon. Aku hanya memejamkan mataku, tak ingin membuat mamas semakin memikirkan ayah.

"Kamu udah sarapan?"

"Udah mas, ini gibran udah di mobil mau ke kampus"

"Yaudah hati-hati, ngga usah terlalu larut mikirin ayah. Nanti juga ngabarin kamu"

Ucap mamas sebelum sambungan telfon kami terputus. Ucapan mamas seakan mengetahui keberadaan ayah. Tapi kali ini aku tak ingin ambil pusing seperti perintah mamas tadi, bukan tak perduli dengan ayah, hanya saja aku juga akan UKT sebentar lagi. Jadi, aku juga harus berusaha fokus untuk mengejar nilai sempurna.

Perlahan aku mulai meninggalkan pekarangan rumah ayah. Sedikit menginjak pedal gas dengan keras karna harus mengejar waktu. Untung saja jalanan ibu kota pagi ini lumayan lenggang, jadi aku tak harus berbaris diatas jalan raya untuk menunggu kemacetan seperti biasanya.

Oh iya, soal mobil yang aku pakai. Ini milik mamas, beliau sengaja meninggalkan mobilnya untukku. Motorku yang sempat dipakai mamas waktu itu? Tentu saja masih terparkir rapi di dalam garasi rumah ayah.

Karna tak begitu macet, jadi aku bisa menempuh perjalanan ke kampus lebih cepat. Setibanya di kampus, mataku langsung menangkap dua sosok koko chindo dengan mata sipit khas mereka serta kulit seputih susunya. Keduanya melambaikan tangan mereka kepadaku, menyuruhku agar sedikit berlari.

Memeluk Luka [TAHAP REVISI]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz