40|tak berbanding

57 11 0
                                    

Pov jovandra

Aku merasakannya kembali, sebuah rasa sakit yang tak berujung, sebuah rasa sesak yang tak dapat untuk ku tahan sendirian disini. Luka itu, luka yang membuatku menyeret orang lain masuk ke dalam lubang kelabu milikku, kini mereka datang kembali.

Bahkan rasanya lebih berat dari sebelumnya...

Bagaimana jalan hidupku bisa sepahit ini?
Bagaimana takdirku bisa sesakit ini?
Bagaimana bisa tuhan seperti ini kepadaku?

Dimana janji tuhan yang akan memberikan sebuah ruang tenang untuk para hambaNya?
Dimana janji tuhan untuk selalu berjalan bersama kami?
Dimana janji tuhan yang tak akan membiarkan anak-anaknya merasakan keterpurukan hidup?

Aku selalu mencoba untuk percaya kepada semua janji-janji itu. Sebuah janji yang tak pernah terucap secara langsung, aku menjadi lebih kuat karenaNya.

Tapi kini, tuhan merenggut salah satu bagian hidupku lagi untuk ke sekian kalinya. Bagian hidup yang berperan sangat penting dalam diriku, bagian hidup yang sudah berhasil membuatku lebih kuat untuk terus berjalan di atas takdir yang begitu kejam ini.

Aku memandangi sebuah batu nisan baru yang tertancap di atas gundukan tanah dengan sangat pasti. Netraku menatap nanar, masih tak menyangka bahwa aku harus kehilangan satu jiwa terpenting di hidupku kembali.

Hatiku bergemuruh seakan penuh dendam di sana. Mataku terasa panas, tapi tak kunjung meneteskan air mata. Dadaku mulai terasa sesak, seperti ada sebuah batu besar yang jatuh entah dari mana. Ingin meraung pun rasanya sudah tak berguna.

Sebuah pusara yang kemarin baru saja aku kunjungi, kini aku mengunjunginya lagi. Untuk sekedar melihat batu nisan itu, karna memang mulutku terasa begitu kelu jika harus mengatakan sebuah kalimat.

Hari ini aku berniat untuk kembali ke jakarta, kota dimana aku dilahirkan. Kota dimana aku tumbuh, kota dimana aku merasakan segala sakit dan sesak.

Raga mamas dikebumikan di kota padang. Kota dimana tempat serayu dilahirkan. Hati ku terasa amat berat jika harus meninggalkan pusara milik anak sulungku. Tapi aku juga tak bisa jika harus berlama-lama ada di kota ini.

Selain ditinggalkan karna sebuah kematian, ternyata meninggalkan pusara yang akan jarang untuk disambangi juga membuat hatiku merasa sesak.

Ternyata kehilangan darah dan daging kita sendiri rasanya sesakit ini...

Aku mengambil sebuah benda pipih yang ada di dalam saku celanaku, saat sebuah panggilan membuat ponselku bergetar. Melihat layar ponsel itu, gibran avicenna.

Aku menempelkan benda pipih itu ke sebelah telingaku setelah menekan tombol berwarna hijau di sana.

"Halo kak, kenapa?, " Tanyaku to the point kepada gibran di sebrang telfon.

"Ayah dimana? Gibran udah siap, ayah ke rumah papah sekarang ya?, " Jelas si bungsu menjawab pertanyaanku.

"Ayah ke rumah papah sekarang, kamu tunggu sebentar ya, " Ucapku lagi.

"Oke, hati-hati yah, " Final gibran si bungsu.

Aku memasukan ponsel itu kembali ke dalam saku celanaku. Membawa langkahku menjauh dari pusara itu menuju ke rumah teddy; suami baru serayu.

Aku tak kembali lagi ke hotel, karna aku sengaja langsung berkemas agar tak harus kesana kemari nantinya.

Perihal gibran, anak itu tak tau jika aku mengunjungi makam mamas lagi pagi ini. Aku sengaja tak memberi tahunya, karna kalau anak itu tau pasti akan meraung kembali seperti kemarin.

Memeluk Luka [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang