38|di ruang yang mana?

62 13 1
                                    

Berbicara perihal rasa sakit dan sebuah kesembuhan jiwa, mungkinkah seorang jovandra rahandika tak akan pernah menemui akhir dari rasa sakitnya itu? Bagaimana dengan janji tuhan tentang sebuah ruang tenang di satu bagian hidup manusia? Apakah tuhan akan membiarkan jovandra hidup dalam luka yang tak pernah menjemput kesembuhannya?

Tempo dulu maupun kini, kenapa rasa sakit itu masih saja terasa di hatinya? Bahkan mereka mulai menjalar ke seluruh raga itu. Raga yang mulai kehilangan gairahnya untuk melanjutkan hidup disini, raga yang mulai tak tau arah untuk jiwanya sendiri, bahkan ia disini hanya untuk melanjutkan hidupnya demi kedua darah dagingnya itu.

Datang atau tidak ke pusara milik nilam, hatinya masih tetap sama. Sama merasakan gundahnya, sama merasakan sesak dan sakitnya, serta masih sama tak ingin bergerak untuk melepaskan rasa rindu yang kian hari kian menggebu itu.

Ia pikir dengan hadirnya dua malaikat (mamas dan gibran) di hidupnya, akan membuat segalanya semakin mudah. Tapi ternyata ia sudah salah mengira, bukan tak menerima kehadiran kedua putranya di dunia ini, tapi jovandra selalu berfikir bagaimana rasanya jika saat itu tuhan tak mengambil nilam serta calon anak mereka dari dunia ini? Akankah sebuah kebahagiaan itu ada?

Sudah bertahun-tahun, tapi kenapa tuhan tak membiarkan dirinya sembuh dari rasa sakit itu? Atau malah dirinya sendiri lah yang enggan untuk bangkit dari semua ini?

"Ayah? Kenapa ngalamun? Lagi ada yang dipikirin?" Ucap gibran saat ia melihat sang ayah sudah melamun di pagi hari.

"Ayah cuma lagi mikir nanti siang kita mau makan apa ya kak? Ayah pengen yang seger-seger gitu" Jawab jovandra seadanya karna memang ia sempat memikirkan tentang makan siangnya bersama sang anak nanti.

Gibran memutar bola matanya jengah saat mendengar jawaban dari ayahnya, sebenarnya gibran tak mempercayai jawaban itu, tapi mau bagaimana lagi? Ia tak mau merusak hari minggu ini dengan pertanyaan yang mungkin akan membuat ayahnya merasa tak nyaman nanti.

"Ayo dong kak, bantuin ayah mikir" Ucap jovandra kembali dengan nada memohon.

"Mmm... Apa ya yah? Gibran juga sebenernya ngga terlalu tau makanan diluaran sana, dari dulu kan gibran kebiasaan makan di rumah"

Iya juga, jovandra lupa kalau dulu serayu selalu membiasakan mamas dan gibran untuk makan dirumah terlebih dahulu sebelum pergi ataupun tetap dirumah. Bukan pelit, tapi serayu memilih untuk memberikan kedua putra mereka masakan rumahan agar lebih sehat. Masalah mau makan diluar lagi atau tidak itu kan urusan mamas dan gibran, yang terpenting mereka berdua sudah harus makan dirumah sebelum pergi.

Sampai saat ini jovandra dan serayu sudah berpisah, gibran tetap membiasakan diri makan dirumahnya. Entah itu masakan ayah ataupun masakannya sendiri, karna ia juga bisa memasak sedikit-sedikit karna belajar dari sang ibu.

"Yang sering makan diluar kan ayah, kenapa tanya ke gibran?" Timpal gibran kepada sang ayah.

Jovandra nampak berfikir sejenak, sebenarnya ia sudah terbiasa memasak untuk dirinya sendiri dan juga untuk gibran. Tapi hari ini ia sedang ingin makan diluar bersama sang anak bungsu, mumpung hari ini libur jadi ia berniat untuk menghabiskan waktu luangnya bersama si bungsu.

"Sebenernya temen ayah baru buka restaurant baru kak di daerah sunter, beliau sempet ngomong ke ayah buat mampir kesana, tapi kamu tau sendiri kan kalo ayah itu selalu sibuk? Jadi ayah belum sempet ngajak kamu buat dateng kesana berdua" Jelas jovandra.

"Boleh juga kalo kita kesana? Terus nanti abis makan kita ke pasar lama cari jajan, gibran pengen kesana sama ayah juga, ayah mau?"

"Why not? Kita harus gunakan waktu luang yang ada buat menghabiskan waktu bersama, secara kita kan emang jarang banget buat keluar bareng karna kesibukan masing-masing kan kak? So, are you ready gibran avicenna?"

Memeluk Luka [TAHAP REVISI]Where stories live. Discover now