Sorry buat up nya yang lama. Tapi tetep ya, yang baca harus kasih vote & coment. Kalau nggak mau coment, it's okay, vote aja nggak papa, kok. Penting kalian nggak jadi silent readers aja.
.
.
.
.╔═════ஜ۩۞۩ஜ═════╗
CAREL
╚═════ஜ۩۞۩ஜ═════╝"Lo masih marah sama gue?"
"Kenapa gitu?"
Walau fokus Carel ada pada ponsel, tapi jawaban itu sedikit membuat lega. Jiken tidak perlu lagi kelabakan, hanya karena Carel mendiaminya seharian ini. Yah, walau terakhir kali mereka bertemu di sekolah di kantin tadi, tapi ketika di rumah, Carel tak sekalipun bicara padanya.
Jiken segera membereskan kamar Carel dengan cepat. Menyapu dengan gesit, melipat maju dan memasukkannya ke lemari. Tak lupa membereskan buku-buku tebal—yang nyatanya tak dibaca dari atas meja belajar. Barulah setelah itu, menghampiri Carel yang masih sibuk dengan ponsel.
Jiken naik ke ranjang, merangkak dan duduk di samping Carel. Ikut meluruskan kedua kaki. Sempat juga menyenggol kaki putih Carel. Berharap cowok itu fokus padanya ketimbang ponsel pengganggu itu.
"Rel."
Jiken kembali menyenggol kaki mulus saudaranya, karena cowok itu memakai celana hitam selutut. Terus melakukan aksi yang sama, sampai akhirnya Carel meletakkan ponselnya ke meja. Memberikan fokus pada Jiken yang langsung membuang muka.
"Apa, sih, Ji? Ganggu aja, lo!"
Giliran Carel sudah mau bicara, Jiken malah asyik mengamati lemari di sudut ruangan. Walau yang sebenarnya, ia tengah was-was sekarang ini. Hanya karena Carel bicara dengan nada sewot begitu, Jiken rasanya tidak ingin bicara lagi. Khawatir kalau Carel malah semakin marah.
"Lo mau ngomong atau gue tendang lo keluar?"
Jiken langsung fokus pada Carel. Menggeleng pelan sambil meremat erat kedua tangannya. Astaga! Ini bukan gaya Jiken sekali. Melakukan hal ini begitu aneh, tapi entah kenapa kalau di depan Carel biasa-biasa saja. Mungkin, karena sekarang Jiken tahu, bagaimana Carel kalau lagi marah.
"Gue pikir, lo marah sama gue. Lo, bahkan gak ada masuk kelas hari ini. Sengaja ngehindarin gue?"
Astaga, Carel jelas tak akan berbuat hal kurang kerjaan seperti yang Jiken katakan. Buang-buang waktu saja. Padahal, jika memang sedang marahan, Carel hanya perlu mengabaikan Jiken alih-alih pergi menjauh dan malah seperti orang patah hati.
Carel berdecak sambil geleng-geleng kepala. "Sumpah, lo aneh banget, Ji. Siapa sih, yang ngajarin punya pemikiran dongo kayak gitu?"
Wajah Jiken seketika memerah, menjalar sampai ke telinga. Seperti ada asap panas mengepul di puncak kepalanya. Sangat memalukan! Jiken tak seharusnya berpikir begitu. Ini terlalu percaya diri namanya, tapi mau bagaimana lagi? Jiken sudah cukup frustasi hanya karena diabaikan Carel.
Carel mengamati kamarnya yang sudah bersih dan rapi. Bahkan, beberapa buku komik di atas meja belajarnya sudah tertata rapi di dalam laci. Decakan kagum sampai keluar dari belah bibir Carel. Tentu antara bangga pada Jiken yang bisa berguna, juga kagum dengan kamar yang sebelumnya seperti kapal pecah jadi serapi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAREL
Teen FictionCarel Buana, remaja laki-laki yang hidup dalam kesendirian dari sejak kecil. Sang Ibu sudah meninggal, dan dia tak tahu tentang siapa sang Ayah. Kehidupan Carel tidak jauh-jauh dari hal 'toxic'. Tiap kali, dia harus berurusan dengan yang namanya sal...