Chapter 64

85 18 6
                                    

Shit!

Sepertinya, Sakya maupun Dhava tak ada niatan untuk membuka pintu kamarnya. Bahkan, mereka tak ada menghubungi Carel. Atau, dia memang belum tahu, sebab ponselnya sekarang tidak ada. Entah pergi ke mana Carel tak tahu.

"Anjing!" Carel mengacak-acak rambutnya frustasi. Jidatnya yang paripurna, mulus dan putih pun terpampang nyata.

Anehnya, itu tak mengurangi kadar ketampanan seorang Carel Buana. Rambut hitam legam yang acak-acakan justru menambah kesan cool dan keren darinya. Ditambah satu piercing yang masih nempel di telinga kirinya.

Carel celingak-celinguk, tapi tak juga menemukan benda yang bisa membuatnya kabur. Jika memecahkan kaca balkon, Carel jelas tak senekat itu untuk berbuat gaduh. Kasihan kacanya yang tidak salah apa-apa harus hancur lebur.

Kalaupun memecahkan kaca balkon, bagaimana Carel akan turun selanjutnya? Dari kamarnya ini, cukup tinggi jika hanya bermodalkan lompat. Bisa-bisa kaki Carel patah, dan lebih miris lagi, nanti bisa diamputasi.

Carel mendekati sudut kamar, secara tiba-tiba menendang meja yang ada di sofa panjang abu-abu di sana. Beruntung kaca di meja tak sampai pecah, hanya bergeser beberapa centi. Itu menyebabkan tumpukan buku, juga vas bunga di sana terjatuh ke lantai.

"Anjing lo emang, Jiken tai! Berani banget lo ninggalin gue di sini, ngurung gue di sini. Awas aja lo entar. Gue buat lo babak belur!"

Panjang umur sekali. Yang dibicarakan datang. Di detik setelah ada suara derit pintu terbuka, sosok jangkung masuk dengan sekresek hitam di sebelah tangannya. Satunya lagi sudah nangkring aman di dalam saku celana.

Jiken melangkah santai. Sempat mengulas senyum menyadari Carel yang seperti tak menyadari kedatangannya. Hanya berlaku untuk beberapa detik. Sebab, belum sempat kresek hitam itu tergeletak aman di atas meja, Jiken mendapat bogeman tepat di sebelah wajahnya.

Tubuh Jiken limbung, jatuh sudah kresek hitam di tangannya. Berceceran isinya di lantai. Ternyata sekotak pizza-makanan kesukaan Carel. Sayang sekali, hari ini Carel sedang dalam mood yang buruk.

Carel tidak membiarkan Jiken berdiri, langsung saja menarik kerah hoodie abu-abu si jangkung dengan paksa. Hingga sekarang mata mereka saling bertemu. Senyum miring Jiken bertemu dengan wajah Carel yang sudah nampak sekali menahan amarah.

"Dari mana aja lo, hah? Beli pizza nggak akan selama ini ya, kampret!"

Jiken terkekeh, berhasil membuat Carel bungkam dengan tangan besarnya yang mendadak hinggap di sebelah pipi cowok mungil itu. Memberikan usapan lembut yang menenangkan dari ibu jarinya yang besar.

"Kenapa, hm? Kangen?"

Carel berdecih, begitu saja langsung menepis ibu jari Jiken. Melepas cengkeraman dan langsung mengambil dua langkah dari jarak mereka sebelumnya. Dapat terlihat rahang Carel yang kembali mengeras.

"Jangan bercanda!"

Carel melangkah, berniat membuka pintu dan keluar. Sayangnya, pintu sialan ini sudah terkunci. Padahal, tadi Carel sangat yakin jika Jiken tidak mengunci. Walau tidak melihat langsung, tapi dari suaranya, Jiken nampak tidak memasukkan ujung kunci ke lubang pintu.

Carel memukul pintu dengan kepalan tangannya. Terus berulang kali, sampai suara yang sangat amat menyebalkan muncul. Bersama dengan suara gemericing logam yang saling bersentuhan. Carel spontan saja berbalik.

"Lo nggak akan bisa keluar. Lo nggak lupa kan, kunci pintu lo ada di tangan gue?"

Carel terkekeh sarkas, menyenderkan punggung pada daun pintu. Nampak santai sekarang raut wajahnya. Buang-buang waktu juga menguras tenaga dan emosi untuk orang seperti Jiken. Orang macam si jangkung ini memang susah kalau diberi wejangan. Diam lebih baik.

Carel melipat kedua tangan. "Seharusnya, gue biarin aja Renka tangkep gue. Kayaknya, lebih enak dia daripada ... elo, deh." Senyum miring terpancar nyata di satu sudut bibirnya.

Carel tertawa dengan mata terpejam. Tidak sadar dengan pergerakan sosok yang berjarak cukup jauh darinya. Suara gemericing logam yang saling bergesekan tidak terlalu jelas, dan Carel baru sadar begitu kedua sisi tubuhnya terdapat lengan kekar Jiken. Mengukung Carel tanpa memberikan celah.

"Seharusnya lo nggak ngomong kayak gitu, Carel Buana. Apa lo nggak pernah merasakan bibir lo kesakitan, hm?"

Carel masih saja santai membuka matanya. Tak ada gunanya takut dan mengumbar emosi yang tidak perlu. Cukup berikan tatapan biasa, dan Jiken akan merasa terpancing. Seperti sekarang, si jangkung itu mulai meraih dagu Carel, membiarkan mata mereka saling menatap satu sama lain.

Seringai Jiken terpampang nyata. "Lo, emang menarik. Gue nggak nyesel lakuin ini ke lo, Rel. Lo emang cuman berhak sama gue! Keluarga lo cuman gue, dan begitupun sebaliknya."

Tangan Carel gatal, sungguh. Ingin sekali lagi memberikan pukulan paling mematikan. Tapi itu hanya akan sia-sia, sebab Jiken tak akan terpengaruh atau takut padanya lagi. Sekarang, Jiken sudah dalam versi yang berbeda.

Carel menarik napas pelan. "Gue cariin lo cewek, mau?"

Pertanyaan Carel cukup konyol. Tapi dia tak tahan. Jiken seharusnya melakukan hal seperti ini dengan pacarnya, bukan orang macam Carel yang tak punya stok kesabaran banyak. Bisa-bisa Carel memang ingin memotong burung yang tertutup celana milik Jiken itu jika kesabarannya benar-benar habis.

Jiken memiringkan kepala. "Gimana kalo ...." Lidah Jiken bermain di rongga mulut untuk beberapa detik. Suara yang selanjutnya mampu membuat mata Carel sukses melotot kaget. "Lo aja?"

Mendadak, tenggorokan Carel mengering. Seolah dirinya ada di tengah padang pasir tanpa adanya setetes pun air selama beberapa hari. Suara Jiken yang terakhir itu benar-benar mengerikan. Bulu kuduknya langsung berdiri dengan ngeri.

"A-panya?" Suara Carel bahkan tak bisa lagi dikontrol. Terbata-bata sudah.

Jiken tertawa pelan. "Just kidding."

Carel seperti sudah menemukan Oasis di tengah gersangnya padang pasir. Napasnya mendadak bisa beraturan lagi. Berlangsung tidak lama, sebab suara Jiken lagi-lagi mengalun. Dan ini mengerikan lagi sampai-sampai Carel terbatuk-terbatuk.

"Tapi kalo bisa juga nggak pa-pa. Gue nggak keberatan asal itu, lo."

Sialan! Carel ingin membenturkan kepala Jiken ke dinding paling keras. Kalau bisa dinding yang terbuat dari besi yang masih dipanaskan. Pasti otaknya akan kembali sehat. Jantung Carel bisa-bisa copot jika begini terus. Dia akan mati muda kalau begini caranya.

Carel berdecih. "Lo gila! Ucapan lo lebih nyeremin dibanding ketemu Mbak Kunti tengah malem. Sumpah, deh! Nggak boong."

Ketawa Jiken lagi-lagi keluar dengan lepasnya. Berbanding terbalik dengan Carel yang mulai was-was. Takut kalau ucapan Jiken ini bukan sekedar jokes. Tapi memang apa yang ada di pikirannya sekarang. Walau Carel juga sebenarnya tak percaya.

Mana ada orang belok di belahan bumi yang indah ini? Kalaupun ada, pasti bukan Jiken-si jangkung yang kelebihan kalsium.

Benar, 'kan?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 5 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang