44.

4.5K 352 16
                                    

Soraya.

Seperi sebelum-sebelumnya.

Bukanlah berbasa-basi, atau beramah tamah ketika menyapa tamunya. Tetapi, tatapan mengintimidasi serta menilai tampilanku selalu menjadi syarat pertemuanku dengan Astoria Widjaya.

Saat ini, ibu kandung Ethan itu sedang mengajakku berkeliling rumah megahnya. Ia memperlihatkan seluruh koleksi lukisan klasik di dalam rumahnya, menunjukan kepadaku lukisan keluarga besarnya yang entah tidak kutahu siapa nama-namanya. Juga mengajakku berjalan ke sayap kanan rumahnya, dimana isinya adalah dapur, tempat peralatan maintenance, juga tempat dimana para pelayan berkumpul.

"Aku tentu meragukan skill kamu taking care of my child, especially your marriage." Suaranya terdengar ketus, ketika kami berjalan masuk ke arah dapur besar rumah ini yang terlihat sibuk. "Terlebih, mengurus rumah ini."

Aku berjalan mengekor di belakangnya. Sementara Ethan, tadi sebelum akhirnya aku di culik ibunya, ia meminta izin untuk tidak ikut karena hendak mengangkat telepon.

"Seseorang seperti kamu, yang entah sekolahnya berada dimana tentu tidak akan mengerti dengan sistem pekerja dirumahku. Ada banyak aspek yang harus kamu mengerti dan tidak dilanggar agar rumah ini tetap berjalan semestinya. Jadi, sebelum kamu menyandang nama Widjaya di belakang nama kamu. Harus kupastikan kamu mengerti bahwa menjadi Nyonya Widjaya itu sulit,"

Aku menghembuskan napasku. Lama-lama jadi terbiasa dengan hinaan frontalnya yang dibalut suara lembut nan elegantnya itu.

"Sampai disini apa kamu mengerti perbedaan status sosial kamu?" Dia bertanya.

Aku bukan orang bodoh. Jelas aku paham kalau yang berusaha ia lakukan adalah untuk membuatku gentar, ragu atas pilihanku untuk menikahi Ethan dengan memperlihatkan semua kemewahannya yang tentu tidak bisa kutandingi.

"Saya, walau tidak pernah sekolah di sekolah internasional, tetapi saya tetap sekolah." Ak7 menjawab sekenannya. "Nilai akademis saya bagus, saya selalu mendapat ranking dan saya mengerti kalau mengurus rumah tangga itu perkara yang sulit."

"Tapi kamu tidak kuliah, kan?" Dia menyelakku dengan menohok, kepalanya menoleh sedikit ketika bola matanya melirik tajam ke arahku. "Cara berpikir kamu jelas sudah bisa kutebak. Tidak open mind, tidak moderen, dan tentu tidak... Setara,"

Aku mengetatkan rahang.

"Tidak punya pendidikan yang layak saja sombong." Dengusnya "Harusnya kamu bersyukur, kalau perempuan kampung seperti kamu itu tidak mungkin dinikahi oleh laki-laki seperti anak saya,"

Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat. Menahan emosi sekuat tenanga karena sungguh, tanganku sudah gatal ingin menarik sanggul kecil yang bertengger di belakang kepala ibu kandung Ethan itu hingga ia tersungkur dan mengaduh kesakitan.

"Ini dapur kotor," ia berkata lagi, tangannya menyentuh permukaan meja kramik besar ditengah ruangan. Ketika kami menginjakan kaki didalam dapur mewah itu.

Wangi masakan yang menggugah selera, hilir mundik menyapa indraku. Nyatanya, keadaanku yang belun sempat makan apa-apa selepas pulang kerja, membuat cacing-cacing di perutku bergemuruh minta di beri makan.

Aku memutar pandangku melihat kesekeliling. Melihat satu koki utama dengan baju berwarna hitam, ditemani dengan asisten koki yang mengenakan baju berwarna putih sedang sibuk memasak entah hidangan apa. Sedikitnya merasa takjub dengan kemewahan yang kulihat di depan mataku.

"Bukan kotor yang berarti kotor." Suara Astoria terdengar lagi "It means it's used a lot. Setiap hari koki dan staff dapur akan memasak hidangan disini, sementara para pelayan memastikan makanan akan di antar tepat waktu ke ruang makan."

The MisshapenWhere stories live. Discover now