Seperti pada biasanya.
Jalanan Ibu Kota tampak begitu padat dipenuhi lautan kendaraan, trotoar di sibuki dengan beberapa pejalan kaki, Juga penampakan gedung-gedung pencakar langit yang menyilaukan mata.
Sementara aku yang bagai burung dalam sangkar, menatap begitu takjub ke arah pemandangan di luar. Melupakan sejenak kalau aku sedang berada di dalam mobil pribadi Januar Widjaya. Duduk persis di sebelahnya di kursi penumpang, sementara supir di kursi kemudi mengendarai mobil dengan begitu mahir.
Setelah Januar berbicara serius dengan Ibu Sri mengenai tawaran kerja yang di tawari beliau untukku, wanita paruh baya dengan senyum hangat itu tanpa berkata berlebihan langsung memeluk tubuhku. Ia dengan tatapan mengerti, sama sekali tidak mempersulit kepergianku malah kalau bisa dikatakan Ibu Sri tampak ikut bahagia dengan kesempatan yang ditawakan untukku.
Dia setuju begitu saja.
Memang sejak awal wanita itu agak kurang suka dengan ide aku yang ingin bekerja di panti jompo yang namanya tidak dikenal ini. Umurku yang terbilang masih muda menjadi masalah utama ketika ia mau menerimaku bekerja di sana. Takut menjadi hambatan potensiku kalau aku bekerja di sana katanya. Dan mendapati seorang Januar Widjaya di yayasannya, menawariku kesempatan kerja, tentu beliau pasti senang. Maksudku, siapa yang tidak kenal keluarga Widjaya?
"Kesempatan brilian, Soraya!" Kata wanita paruh baya itu hampir dua jam yang lalu.
Andai dia tahu kalau sudah sejak lama aku sudah berurusan dengan keluarga Widjaya. Dan sama sekali bukan kesempatan brilian yang kudapat, melainkan rasa malu dan tahu diri.
Aku tidak tahu apakah ini keputusan yang baik atau bukan untuk menerima ajakan Januar Widjaya. Maksudku, setelah kemarin berhasil keluar dari masalah keluarga ini, apakah aku yakin mau kembali?
Aku melirik jam pada ponselku, kemudian menarik napas cukup panjang. Kira-kira, berapa lama lagi kami akan berkendara di temani gedung-gedung pencakar langit ini? Satu jam? Dua jam? Aku rasanya tidak ingin cepat-cepat sampai. Kalau bisa aku mau terus berkendara saja sampai akhir hayat.
"Mungkin butuh sekitar satu jam setengah, untuk sampai ke sana," Januar tiba-tiba berkata seolah bisa membaca pikiranku, membuatku refleks menoleh ke arahnya. "Kita akan butuh kendaraan lain, karena as you can see, jalanan ibu kota itu selalu padat merayap. Sedangkan waktu yang kupunya itu sedikit." Lanjutnya seraya terkekeh.
Aku menganggukan kepalaku. Mengiyakan saja perkataannya, walau tak benar-benar mengerti apa yang barusan ia katakan. Kendaraan apalagi yang dia maksud?
Kepalaku melongok ke atas saat tiba-tiba saja mobil berbelok memasuki salah satu gedung pencakar langit. Persis setelah mobil berhenti di depan lobby, kami keluar setelahnya. Kemudian tanpa menjelaskan apapun, tanpa membuatku mengerti dengan apa yang sedang dia lakukan, Januar mengajakku untuk segera mengekorinya masuk ke dalam gedung.
Aku masih tak bertanya apa-apa saat lift membawa kami ke lantai dua puluh enam, Lantai paling atas kalau kutebak dari jumlah tombol di dalam lift, boleh jadi Rooftop.
"Tutup telinga kamu," Januar berkata persis sebelum pintu lift terbuka.
Dan belum sempat aku berkedip selepas Januar berkata demikian, pintu lift kemudian terbuka. Dan benar kami berada di Rooftop. Di balik dinding kaca yang mengelilingi Lift, aku melihat sebuah helikopter yang baling-balingnya berputar kencang, yang suaranya memekakan telinga, seakan sudah siap landas.
"Pops," dengan tanpa tahu malu aku menahan lengan Januar Widjaya. "Kita mau naik itu?" Tunjukku pada helikopter yang sudah siap terbang di luar sana.

YOU ARE READING
The Misshapen
Romance(COMPLETED) He's misshapen. His love is misshapen. We look grossly misshapen. But i love his misshapen...