BAGIAN LIMA PULUH SATU.
Rexton.
Bibirku menempel dengannya.
Tak menyia-nyiakan kesempatan sebelah tanganku menahan rahangnya agar tak bergerak, sementara sebelah tanganku yang satunya lagi merengkuh pinggangnya erat. Membuatnya jadi sulit bergerak, apalagi mencoba membuatku untuk menjauh.
God I need this.
Jiwa dan ragaku membutuhkan ini. Seolah seperti tanpanya otakku, jantungku, bahkan seluruh saluran darah di dalam setiap nadiku seperti berhenti bekerja dengan semestinya.
Aku melumat bibirnya dengan tidak santai. Menyesap rasa manis dari bibirnya yang selalu gemari, merasakan bagaimana kenyal dan lembab bibirnya, menandai mulutnya dengan liurku agar ia paham kalau dia adalah milikku. Juga melepas rindu yang sudah kutahan selama lebih dari sepekan ini.
Aku merindukannya.
Sangat.
Tak ada sedetikpun aku merasa tidak merindukannya setiap dia tak berada di dekatku. Dan seminggu aku tak mendengar kabar darinya, Tak melihat wajahnya, lebih-lebih tak mendengar suaranya yang merdu itu, membuatku hampir gila. Bukan lagi balada tidak bisa tidur yang kudera, tetapi juga segala rasa di dalam hidupku mulai menjadi hampa. Saat makan bahkan rasanya makananku terasa hambar.
Apa aku kembali lagi menjadi gila seperti sewaktu dulu?
Ya. Rasa-rasanya seperti itu. Dengan segala masalahku, pekerjaanku, juga masalah keluargaku yang tiada habisnya. Tentu kata gila bukan lagi hal yang perlu dipertanyakan. Contohnya mungkin seperti saat ini, ketika aku mulai lepas kendali dan tidak bisa menahan lagi hasratku kepada Soraya.
Ini bahaya.
Aku bahkan tidak bisa berhenti mencumbunya padahal tangan-tangan mungilnya sedari tadi berusaha mendorongku menjauh sekuat tenaga. Tak perduli dengan segala keluhnya beberapa menit lalu yang seharusnya lebih penting di bahas, tentang segala kesalahanku terhadapnya sejak lima tahun lalu, lebih-lebih tentang permintaan maafku yang seharusnya sudah kulontarkan sejak tadi.
Aku benar gila kan, karena mengabaikan itu dan malah memilih mencumbunya dengan panas?
Ketika aku menghisap bibir bawahnya, Soraya melenguh sebelum dengan sekuat tenaga ia mendorongku hingga pagutan kami terlepas. Lantas dengan secepat kilat ia menampar pipiku.
Aku terengah, perempuanku yang masih duduk di atas kursi tamuku ini pun juga terdengar terengah. Wajahnya memerah, dan bola matanya terlihat sedikit berair ketika ia dengan kilatan tajam menatapku.
"Kamu sudah gila." katanya di sela-sela napasnya yang memburu akibat desakan ciumanku.
"I am," sama sekali tak mengelak, disela sengatan panas di pipiku akibat tamparannya barusan. Aku mengakuinya. "You're driving me crazy,"
Mendengar parkataanku, wajahnya semakin memerah padam. Aku melirik ke arah bibirnya yang terlihat membengkak, sedikit bangga karena itu adalah ulahku. Sementara dadanya bergerak naik turun seiring napas yang ia ambil. Perempuan ini sudah tampak kacau, jelas. Tetapi aku dengan gilannya malah tidak perduli. Hanya pikiran menelanjanginya disini yang berada di kepalaku.
Kalau aku menarik bajunya hingga semua kancing-kancingnya terlepas, lantas memperlihatkan bra yang menyokokng kedua buah dadanya yang indah itu, Apa dia akan marah?
Kalau aku mengangkat tubuhnya, meletakannya di atas meja lalu membuka celananya dan mengendus wangi pangkal pahanya. Apakah ia bisa diam dan tidak berteriak hingga sekertarisku masuk ke dalam ruangan?

YOU ARE READING
The Misshapen
Romance(COMPLETED) He's misshapen. His love is misshapen. We look grossly misshapen. But i love his misshapen...