BAGIAN ENAM PULUH SATU.
Gemuruh terdengar kencang.
Aku menautkan jemari di atas kedua pahaku, di dalam mobil. Menatap ke arah teras utama Villa pribadi keluarga Widjaya yang begitu megah, bersama dengan Rex yang duduk di belakang kursi kemudi. Tanpa supirnya, tanpa sekertarisnya, juga tanpa Astrid.
Dengan cuaca yang kurang mendukung di luar sana, dimana awan berkumpul menjadi satu yang mana hanya dalam hitungan menit akan menurunkan tetes-tetes air hujan. Aku mengenkan gaun midi berwarna kuning pastel, dengan rambut kucepol asal di atas kepala.
Aku menarik napas.
Dalam hati merutuki diri sendiri yang tempo hari lalu berteriak, memaki Rex untuk segera mengakuiku.
Setelah Januar Widjaya mengundangku untuk datang ke acara keluarga Widjaya tempo hari lalu di kantor Rex. Kekasih ku ini tanpa pikir panjang mengajakku untuk datang bersamanya dengan maksud ingin mengakhiri pertungananku dengan Ethan, lantas mengenalkan aku sebagai pasangannya. Biar bagaimanapun, berita mengenai aku dan Rex yang sudah beredar di mana-mana tentunya akan menjadi perdebatan internal kalau tidak segera di selesaikan.
Tetapi ironisnya, begitu kedua netraku melihat beberapa mobil yang terparkir disepanjang parkiran Villa adalah mobil keluaran terbaru dengan harga fantastis.
Nyaliku tiba-tiba saja ciut.
Kenapa aku bisa lupa siapa keluarga Rex? Maksudku dengan hanya melihat mobil-mobil itu saja aku bisa langsung paham, bahwa yang berada di dalam bangunan megah di depan sana adalah orang-orang berkantung tebal yang hembusan napasnya saja wangi uang. Keluarga Rex tentu adalah salah satu keluarga terpandang di negaraku, namanya sering kali disebut di televisi maupun surat kabar. Dan bagaimana bisa aku Soraya Kusuma, seorang perempuan dengan strata sosial paling rendah tiba-tiba masuk dan bergabung di dalam sana?
Kemana akal sehatku kemarin?
Lihat apa yang telah kau lakukan Soraya?
Sewaktu dengan Ethan, semua terasa lebih mudah karena dalam hati aku tahu pertunangan ini tidak akan bertahan lama. Tetapi dengan Rex, dimana kami sama-sama meyakini kalau hubungan kami adalah hubungan yang serius, entah mengapa rasanya lebih berat untuk dicerna logika. Perasaan takut tidak diterima keluarganya tentu menjadi poin utama keresahanku.
"Rex," aku menarik napasku dengan panjang, tiba-tiba didera dilema hebat. "Aku tahu, kemarin aku yang memaksa di akui. But- um... I think it's not a good idea,"
Rex menoleh ke arahku, alisnya berkerut samar sementara sebelah tangannya memegang stir mobil.
"Kenapa?" Tanyanya, nada suaranya terdengar tenang. Sama sekali tidak ada sirat kegugupan disana walau yang akan kami lakukan nanti tentunya bersebrangan dengan akal sehat.
Aku menelan ludahku, semakin keras memilin kedua tanganku di atas kedua pahaku. Sedikit merasa malu untuk mengakui, kalau sesungguhnya aku merasa tidak percaya diri untuk bertemu dengan keluarganya dalam keadaan seperti ini. Ditambah dengan situasi rumit dimana aku masih sah menjadi calon isteri Ethan.
Mereka mana mengerti kalau pertunanganku dan Ethan kemarin adalah hanyalah permainan Ethan. Bagaimana kalau sampai di dalam sana mereka malah mengusirku?
Tak mendengarku segera menjawab pertanyaanya, Rex menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, lalu menarik napasnya sembari netranya menatap ke arah rumah megah di depan kami.
Hujan rintik-rintik di luar mobil mulai terdengar suaranya. Kira-kira sekarang apa yang ada di kepalanya?
"Mau pulang aja?" Tanyanya, yang membuatku sontak membesarkan mata.

YOU ARE READING
The Misshapen
Romance(COMPLETED) He's misshapen. His love is misshapen. We look grossly misshapen. But i love his misshapen...