#2 memories

1K 162 6
                                    

Six minutes left.

Saat itu usiaku 14 tahun. Hari dimana ketika aku menyadari bahwa aku memiliki perasaan kepada Blue.

Hari itu adalah malam musim panas di London. Sekolah libur dan pihak panti membolehkan kami untuk bersantai setelah makan malam.

"Harry, ayolah!" Seru Blue dengan bersemangat sementara tangan rampingnya menarik keliman kaos yang kukenakan.

"Sabar sebentar." Ujarku, selagi berdiri dari kursi dan mulai membiarkan diriku berjalan dan setengah di seret olehnya. Anak-anak yang lain berlarian ke segala arah. Kebanyakan dari kami akan menonton dvd di ruang nonton pada hari libur seperti ini. Tapi aku dan Blue selalu memiliki rencana lain.

Blue membawaku ke halaman belakang. Di tangannya terdapat sebuah kain usang yang selalu kita jadikan alas ketika ingin berbaring di atas rumput.

Dia menghamparkan kain itu di atas rumput dan segera duduk. Kain tersebut cukup luas untuk kami berdua.

"Kemari.." Ucapnya sambil memberikanku cengiran lebarnya dan menepuk tempat kosong yang ada tepat di sebelahnya.

Inilah yang selalu kami lakukan setiap liburan di malam cerah tanpa udara yang begitu dingin, dan tanpa awan yang mendung. Berbaring diatas hamparan rumput beralaskan kain sambil menatap langit.

Aku memalingakan kepalaku ke samping dan menatap Blue diam-diam. Mulutnya setengah terbuka akibat takjub. Matanya memantulkan cahaya bintang dan rembulan.

"Lihat! Itu Andromeda!" Serunya.

Aku segera mengalihkan tatapanku dari wajahnya dan kembali menatap langit.

"Mana?" Tanyaku. Aku mencoba mencari-cari rasi bintang yang dia maksud.

Blue sangat terobsesi dengan bintang-bintang. Dia telah mempelajari sebagian besar rasi dan memberitahukan padaku sebagian besarnya walaupun terkadang aku akan kehilangan konsentrasi di tengah penjelasannya. Jangan salahkan aku. Ketika dia begitu bersemangat, aku tidak bisa berpaling dari matanya yang berapi-api dan rasanya  menghanyutkanku seolah-olah aku tenggelam di dalamnya.

Blue merangsek dari posisinya dan mendekat kearahku sehingga kepala kami saling bersentuhan. Dia menaikkan lengannya lalu menunjuk dan menggambarkan garis lurus yang membentuk pola di udara tepat diatas kepala kami agar aku bisa menghubungkan rasi Andromeda yang dia maksud.

"Oh." Ucapku pelan, seakan-akan aku sudah tahu. Padahal nyatanya jantungku berdebar-debar di dalam dadaku sehingga membuatku kehilangan fokus sekali lagi.

Selang beberapa lama, Blue menghembuskan nafasnya dan mendongkak menatapku. Ada sesuatu dari caranya menatapku yang membuatku tahu bahwa dia ingin mengatakan sesuatu.

"What?" Aku selalu tahu bahwa dia memiliki begitu banyak pikiran berkecamuk di dalam kepalanya.

"Mmm, bukan apa-apa." Ujarnya.

"Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu." Aku menatapnya dengan penasaran, "Tell me." Bisikku.

Dia hanya menggeleng pelan mendengar ucapankku. Melihat responnya, aku mendapat sebuah ide.

Aku menggelitik perutnya.

"Ayolah Blue, atau aku tidak akan berhenti." Ancamku sementara yang bisa kulakukan hanya ikut tertawa terbahak-bahak bersama dirinya yang meronta-ronta  dengan tawa tak tertahankan.

"Baiklah!" Serunya.

Aku berhenti dan membiarkannya berkelit dari diriku. Wajahnya tampak merah sementara matanya berbinar masih menahan tawa.

"Aku baru saja berpikir tentang. ." Blue memulai sambil menatapku dengan ragu-ragu.

"Ayolah Blue, kau bisa memberitahuku." Ucapku dengan nada yang terdengar setengah mendesak.

"Kau tahu tentang paradoks waktu?" Tanyanya tiba-tiba.

Aku berkedip beberapa kali dan menatapnya dengan bingung seolah-olah dia baru saja mengatakan bahwa dia akan berhenti bersekolah untuk pergi ke Tibet dan menjadi biksu di sana.

"Paradoks apa?" Tanyaku.

Blue hanya bisa tertawa pelan dan memutar mata birunya ketika melihat ekspresiku. Dia mengulurkan tangannya dan mencubit pipiku.

"Hey!" Seruku sembari menangkis tangannya dari wajahku.

"Sudah kuduga, kau tidak mendengar penjelasanku waktu itu berarti." Ucapnya sambil menyeringai. Sementara yang bisa kulakukan hanya terdiam dan merasa seperti seekor buruan yang tertangkap.

"Anyway, jelaskan saja padaku." Ucapku cepat-cepat.

"Baiklah," Blue melirikku sesaat sebelum akhirnya kembali menatap langit dan menekuni bintang-bintang. "Paradoks waktu, atau biasa dikatakan teori paradoks waktu. Kau lihat bintang-bintang itu?"

Dia melirikku sedikit dan aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Bintang-bintang terlihat tidak berubah, mereka terlihat abadi. Tapi nyatanya, ketika kau melihat bintang di langit, kau melihat ke pantulan masa lalu. Many of the stars we see at night have already died." Jelasnya.

Aku hanya terdiam dan tidak tahu harus berkata apa ketika mendengar penjelasannya tersebut.

"Butuh bertahun-tahun bagi bintang agar cahayanya sampai ke bumi. Dan dalam waktu itu, ketika cahaya bintang sudah sampai di bumi, bisa saja bintang itu sudah mati. Meledak lalu menghilang, atau beberapa diantaranya terhisap kedalam lubang hitam. Yang kita lihat hanyalah pantulan cahaya dari masa lalu, Harry."

Di saat seperti ini, di saat ketika Blue mengutarakan isi pikirannya, yang harus ku lakukan adalah diam. Sangat jarang bagi Blue untuk melontarkan isi pikirannya. Dan aku tidak ingin merusak momen ini.

"Aku merasa. . kesepian. Aku berpikir bahwa, sementara aku tersenyum dan menatap mereka. Mereka telah menghilang." Ucapnya dengan suara selirih bisikan.

Aku menengok kesamping dan menatapnya. Dia terlihat begitu sedih, seolah-olah dia baru saja mengatakan bahwa dia telah kehilangan seorang kawan.

Aku merangsek ke arahnya dan dengan perlahan menggenggam tangannya di dalam genggamanku. Dia menengok ke arahku sambil menyunggingkan senyum.

"Kau tidak harus selalu memikirkan tentang itu, Blue. Selagi kau melihat cahayanya, tetaplah percaya diri bahwa mereka masih berada di sana." Ucapku sambil menunjuk langit diatasku.

Aku menyaksikan ketika setetes air mata mengalir turun dari matanya. Hal berikutnya yang kutahu adalah, dia tengah memelukku. Awalnya aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tapi dengan cepat aku segera merespon dan membalas pelukannya.

Kehangatan menyebar di seluruh tubuhku. Aku membenamkan wajahku di rambutnya yang memiliki aroma segar shampoo dan dedaunan. Rasanya aku bisa melakukan ini selamanya.

Last 7 minutes✔️Where stories live. Discover now