#3 memories

785 150 0
                                    

Five minutes left.

Selama hidupku aku tidak pernah menyangka akan merasa seperti ini sebelumnya. Begitu mendengar kabar itu, aku tidak bisa merasakan apapun. Beberapa tangisan pecah dari penghuni panti yang lain.

Rose.

Dia telah tiada.

Rose yang selama ini sudah seperti figur seorang ibu di dalam hidupku. Aku tidak menyangka semua ini akan terjadi dengan begitu cepat. Mr. Hudson ketua pengurus panti mengumumkan bahwa Rose meninggal akibat sakit keras yang dia derita seminggu belakangan ini. Dia meninggal di usianya yang genap 50 tahun.

Aku bisa merasakan emosi itu menerjangku seperti ombak tsunami. Menghantamku tanpa ampun.

Aku mendengar suara Blue memanggilku ketika aku berlari keluar ruangan aula. Aku tidak bisa berada di sana lebih lama lagi. Dan aku bersyukur karena tidak ada yang memberhentikanku saat itu juga.

Hari itu hujan deras. Aku sudah basah kuyup dalam lima menit. Aku berlari begitu cepat sampai paru-paruku mulai terasa sakit dan kakiku rasanya terbakar, dan akhirnya ketika aku tidak bisa bergerak selangkah lagi, aku menjatuhkan diriku telentang di tengah-tengah lapangan sepak bola.

Pernah sekali, aku dan Blue mencoba obat terlarang yang di selundupkan oleh Cam, salah satu penghuni panti juga. Kami hanya remaja SMA yang penasaran dan ingin mencoba hal-hal baru. Aku mencobanya ketika badai terjadi, seperti hari ini. Hari itu aku berbaring dan mengamati langit runtuh. Kubayangkan tetes-tetes hujan meleleh di kakiku. Tapi sayangnya, kali ini aku sedang tidak berada dalam pengaruh obat-obatan.

Aku menunggu satu sambaran kilat yang langsung menembus jantungku dan membuatku merasa seratus persen hidup untuk pertama kalinya dalam keberadaanku yang menyedihkan. Tapi tidak ada yang terjadi. Yang ada hanya hujan yang dingin bercampur dengan tetes-tetes air mataku.

Rose.

Aku membayangkan tatapan sedihnya yang tengah menatapku dari atas sana. Mau tidak mau aku mengalihkan tatapanku dari langit. Tangis pecah dari dadaku, begitu menyakitkan hingga rasanya seperti ada gergaji mesin yang mendesak keluar dari kerongkonganku. Aku tidak tahu harus bagaimana. Dia sudah seperti seorang ibu bagiku.

Rose yang tengah memelukku di malam hari ketika aku bermimpi buruk. Rose yang mengajarkanku bermain sepedah. Rose yang membuatkan susu hangat dan biskuit ketika aku tidak bisa tertidur di malam hari. Rose yang mengacak-acak rambutku ketika aku mengatakan hal-hal yang konyol. Semua memori masa kecilku terlintas kembali.

Aku merindukannya.

Sebuah langkah kaki membuatku menengok kesamping. Blue. Dia tengah menatapku dengan tatapan sedih dan prihatin. Hidungnya tampak memerah akibat udara dingin, sementara matanya tampak merah dan sembap sehabis menangis. Aku tahu Blue sama kehilangannya seperti diriku. Walaupun dia baru mengenal Rose ketika usianya 12 tahun, sementara Rose bersamaku sejak aku masih bayi. Tidak begitu berbeda rasanya.

Blue berbaring di sebelahku. Tidak memedulikan kaos dan jeans nya yang basah kuyup.

Dia tidak mengatakan apapun dan hanya berbaring di sebelahku, hingga tak lama kemudian dia menggenggam tanganku dengan erat. Aku merasa utuh kembali. Dan itu cukup. Kehadiran Blue cukup untuk membuatku merasa lebih baik.

Last 7 minutes✔️Where stories live. Discover now