#Last memories

953 150 13
                                    

"When he shall die,
Take him and cut him out in little stars,
And he will make the face of heaven so fine
That all the world will be in love with night
And pay no worship to the garish sun."

― William Shakespeare, Romeo and Juliet

-------------------------------

One minute left.

Aku menatap keluar jendela dan mencoba meresapi detail-detail kecil di hadapanku. Tidak banyak yang bisa di lihat sebenarnya. Hanya pemandangan yang sama yang kulihat seminggu terakhir ini sejak aku berada di rumah sakit.

Tapi aku mencoba meresapinya kali ini, mencoba menangkap keindahan kecil dari bangunan-bangunan pertokoan serta pencakar langit dan kemacetan kota London di bawah sana.

Aku mendesah dengan pasrah. Ini terlalu membosankan. Tidak ada yang bisa kulakuakan saat ini selain menatap hal yang sama setiap saat. Aku merasa begitu kesepian hanya di temani oleh suara bip pelan yang berbunyi setiap beberapa detik sekali dari peralatan medis yang terpasang pada tubuhku.

Aku tidak sabar menunggu semua ini berakhir.

Perasaan gugup melandaku setiap saat aku memikirkan hal tersebut. Hari ini adalah hari dimana aku akan menjalani operasi. Aku berbohong jika mengatakan bahwa aku tidak merasa takut sama sekali. Karena kenyataannya memang begitu.

Semakin hari tubuhku semakin lemah dan terkadang rasa sakit itu kembali datang dan menjatuhkanku ke tanah dalam keadaan berlutut. Aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Bahkan terkadang, tubuhku tidak bisa mengikuti perintah otakku. Beberapa waktu yang lalu, aku mendapati bahwa tanganku tak dapat di gerakkan, atau terkadang kakiku menolak untuk menopang tubuhku lagi.

Aku merasa takut.

Kemungkinannya sangat kecil. Tapi dokter mengatakan bahwa segalanya ada di tanganku. Lebih baik mencoba daripada tidak sama sekali. Jika aku tidak melakukan operasi aku akan mati pada akhirnya, dan jika aku melakukan operasi, masih ada dua kemungkinan. Mati atau bertahan.

Demi Blue.

Aku berani bersumpah jika aku tidak pernah bertemu dengannya seumur hidupku, aku tidak akan repot-repot mengambil jalan operasi.

Terkadang, aku bertanya-tanya apa bedanya antara kematian dan tertidur. Saat aku kecil, aku selalu berasumsi bahwa kematian berarti kau akan diselimuti oleh tanah hangat hingga kau siap untuk terbangun lagi suatu hari nanti. Tapi nyatanya, itu hanyalah sebuah pemikiran dari seorang bocah. Sejak hari dimana ibuku sendiri menelantarkanku di undakan pintu masuk panti asuhan, aku belajar bahwa di momen kau menerima kebenaran bahwa seseorang melangkah pergi dari hidupmu, kau tidak harus menunggunya untuk kembali lagi. Itulah cara agar kau tidak merasakan kekecewaan.

Aku memikirkan soal Blue. Jika aku pergi, apakah dia akan baik-baik saja? Aku harap begitu. Dia harus baik-baik saja.

Dengan pemikiran itu, aku pun segera mengambil selembar kertas dan menulis untuknya. Jika aku tidak berhasil melewati semua ini, surat ini akan sampai kepadanya.

Beberapa jam sebelum operasi, aku menemui Blue. Biasanya Blue datang ke rumah sakit setiap hari seorang diri, itulah sebabnya aku terperangah ketika menyadari bahwa dia membawa seluruh penghuni panti--atau harus kukatakan keluargaku--untuk datang mengunjungiku. Aku berharap Rose ada di sini, aku benar-benar merindukannya.

Ketika mereka semua meninggalkanku berdua bersama Blue, aku memeluknya dan mencoba meresapi kehangatanya seolah-olah ini untuk yang terakhir kali. Aku menciumnya seolah-olah aku tidak akan pernah merasakannya lagi. Aku memandangnya dan mencoba menyimpan setiap fitur itu di dalam ingatanku.

Last 7 minutes✔️On viuen les histories. Descobreix ara