#6 memories

775 142 7
                                    

(Video) Lewis watson - Bones
------------------------------

Two minutes left

Sore itu kami duduk di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan keindahan alam itu untuk mata kami.

Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit senja tetap saja ungu dan angin tetap saja lembap dan basah, serta pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku diatasnya.

Sudah satu bulan berlalu sejak dokter mendiagnosisku dengan tumor otak.

Rasanya seperti hidup diatas sebuah tali yang diregangkan, terombang-ambing setiap saat antara kematian dan kehidupan sementara aku mencoba untuk menyeimbangkan diriku diatasnya agar tidak terjatuh. Fakta bahwa aku masih bertahan hidup sampai saat ini, aku tidak tahu harus menyebutnya sebagai kutukan atau keajaiban mengingat dokter mengatakan bahwa aku tidak memiliki waktu yang tersisa. Kecuali aku melakukan operasi. Tumor itu sudah menggerogoti kepalaku dan berkembang dengan sangat cepat.

Aku menatap Blue dengan senyuman di wajahku. Dia menatapku balik dengan senyuman yang sama. Walaupun aku tahu, itu tidak akan bertahan lama.

Aku tidak bisa mencintainya dengan cara yang pantas. Dia pantas di cintai dengan cara yang lebih, dia pantas dicintai seolah-olah dia adalah hal paling berharga di dunia ini. Aku tidak bisa mencintainya dengan cara itu karena aku hanyalah bom waktu yang bisa meledak kapan saja dan aku tidak ingin melukainya.

Aku tahu ini sangat berat baginya. Tapi kami tidak memiliki pilihan selain hidup pada masa kini dan menikmati momen selagi kami masih bisa bersama.

"Bisakah kau menyanyikan sebuah lagu untukku?" Tanyanya sambil menunjuk gitar tua yang kubawa. Aku hanya tersenyum mendengar permintaannya.

"Baiklah." Ucapku.

Aku mulai memainkan chord lagu yang kuingat. Daniel mengajarkanku bermain gitar ketika usiaku masih 13 tahun. Dan sebagai hadiah ulang tahunku yang ke 14, dia membelikanku gitar ini. Dan diusiaku kini yang ke 19, aku masih menyimpannya.

Aku memilih untuk memainkan lagu berjudul Bones yang dinyanyikan oleh Lewis Watson. Menurutku lagu itu merupakan lagu yang indah.

Suara alunan gitar bergabung dengan suara desiran angin pantai. Dan saat itulah aku mulai bernyanyi.

"Just open your eyes, no don't be scared at all.
We'll jump out of aeroplanes and the lakes will break our fall,
No don't make a sound because I'll be with you the whole way down.
And I told you everything."

Aku menatap mata Blue selagi menyanyikan lagu tersebut.

"And I know it's quite soon but you've got a lovely heart
And I hope that you feel it too and a flame follows these sparks.
Just don't tell me lies because I've been let down too many times.
And I told you everything."

Blue menatapku sambil tersenyum, matanya tampak berkaca-kaca dan entah mengapa warna matanya mengingatkanku akan warna lautan. Begitu kontras dengan pemandangan tepat dibelakang kami. Begitu indah.

"So I'll spend the night looking into your eyes
Because I want to remember them if I ever fall blind
We could jump in the ocean and sink like stones
But that's ok with me baby 'cause I'll be next to your bones"

"We can spend the rest of our lives, by the old reservoir.
Looking at satellites, waiting for a shooting star.
Although my wish has been made and I found you, I'll just wish you stay because I love your everything'"

Aku menyanyikan sisa liriknya selagi berusaha mengontrol emosiku. Aku tidak bisa menahan diri ketika setetes air mata menuruni mataku.

Aku menyimpan gitar di sampingku dan meraih Blue untuk memeluknya karena dia tampak seolah-olah akan pecah kedalam tangisan saat itu juga.

"Semua ini tidak adil, bukan begitu?" Gumamnya.

"Hidup ini memang tidak adil, Blue." Ucapku.

Blue mendongkak dan menatapku. Aku bisa merasakan gelombang amarah yang terpancar dari dirinya. Matanya tampak menggelap dari biasanya. Lalu bibirnya mulai bergetar dan dia pun meledak kedalam tangisan dihadapanku selagi aku memeluknya.

"Kenapa harus kau Harry!?" Dia setengah berteriak kepadaku, sementara tangannya mengepal kemeja merah yang kukenakan.

"Kenapa Tuhan harus memilihmu untuk mendapatkan cobaan ini? Tidak cukupkah Dia mengambil orang tuaku? Aku tidak ingin kehilanganmu.. aku.. aku tidak akan sanggup."

Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya mengelus kepalanya dan mengecup keningnya. Merasakan tetesan demi tetesan hangat air mata menetes dari mataku.

"Maafkan aku." Ucapku dengan suara yang terdengar bergetar. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku merasa benar-benar menyesal, bukan untukku, tapi untuk Blue. Aku menyesal karena dia harus jatuh cinta dengan lelaki sepertiku.

"Jangan meminta maaf, ini bukan salahmu."

Aku hanya terdiam.

Ketika matahari sudah hampir menghilang sepenuhnya di cakrawala, aku menciumnya seperti tidak ada hari esok. Ciuman yang penuh air mata dan rasa manis dari hitungan waktu yang tersisa.

"I love you." Ucapku dengan lirih. Sementara dalam hati aku berdoa agar mantra itu tidak akan menjadi yang terakhir kali kuucapkan.

Last 7 minutes✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang