detak ke-31

139K 7.3K 1.3K
                                    


⌣«̶··̵̭̌·̵̭̌✽̤̥̈̊Heart ✽ Beat✽̤̥̈̊·̵̭̌·̵̭̌«̶⌣

Seraphine ⇝

▔▔▔▔▔▔▔

"Kapan kamu mau putus sama Elang?"

Aku mengerjapkan mata menatap saudariku yang berdiri di ambang pintu dengan kedua lengannya terlipat di depan dada. Aku mengorek-ngorek telingaku, siapa tahu aku salah dengar dengan pertanyaannya.

"Ini sudah terlalu lama kamu bersama dia dan akan menjadi semakin sakit pula saat dia meninggalkanmu nanti."

Aku melongo menatapnya, kali ini aku yakin tidak salah dengar. "Kamu salah minum obat atau apa sih?"

Meletakan baju yang sudah kulipat ke dalam ransel, aku melangkah ke lemari lagi untuk mengambil kaus kaki. Kata Elang aku harus membawa kaus kaki tebal karena di gunung dingin, tapi karena tidak punya maka aku membawa beberapa pasang.

Saat aku berbalik aku menemukan Fani dengan wajah marah tertahan yang jelek, kedua tangannya mengepal kuat di samping tubuhnya, seolah-olah dia menahan diri untuk tidak meledak. Terkejut malihatnya begitu, aku mundur selangkah. Dia segera memperbaiki ekspresinya.

"What is wrong with you?" tanyaku, setengah kesal setengah penasaran dengan reaksi yang baru saja aku lihat. Aku tidak pernah melihatnya seperti itu.

"Nothing," jawabnya pendek.

"Kalau begitu kenapa pake nanya kapan aku mau putusin  Elang segala?"

Dia menghela nafas dan duduk di tepi tempat tidurku sementara aku kembali memasukan peralatan campingku ke dalam ransel.

"Sebelum dia memutuskanmu akan lebih baik kamu yang memutuskan dia lebih dulu," ujarnya dengan nada simpati yang aku benci itu.

"Are you being serious?" tanyaku tidak percaya akan apa yang baru saja aku dengar. "Lagipula, tau dari mana dia bakal mutusin aku?"

Dia memutar bola matanya. "Bukankah selalu berakhir seperti itu? Kamu pacaran dengan seseorang yang ternyata malah menyukaiku. Kalian putus dan kamu patah hati."

Ini namanya menebar garam diatas bekas luka. Sakit sih tidak, tapi tersinggung iya banget. Aku melipat lengan di depan dada. "Emang dia bilang kalau dia menyukaimu?"

Fani memberiku senyum sedih dan simpati. "Elang lebih dulu mengenalku-"

"Bukan berarti dia menyukaimu," selaku. Fani melototiku. Dia paling tidak suka kalau ada orang memotong pembicaraannya.

"Dia ngga pernah menghidariku," Fani membela diri.

"Still, doesn't mean he likes you," kataku sambil meresleting ransel untuk camping dua hari mendatang.

"Kamu ngga tau itu."

"Aku tau itu," balasku. Kalau Fani mau bermain memanas-manasi, aku juga bisa. "Elang bukan orang bodoh. Dia tau betul siapa yang Ketua OSIS dan siapa yang Seraphine Alana. Dia juga bukan seorang pengecut. Kalau dia memang menyukaimu secara romantis dia pasti sudah nyamperin kamu alih-alih mendekatiku."

"Saat itu aku masih bersama Iwan," geramnya.

"Sudah aku bilang Elang bukan pengecut. Dia keras kepala dan ngga peduli apa kata orang. Jadi kalau dia memang menyukaimu dia ngga akan peduli entah ada Iwan atau ngga," ujarku membela... Entah siapa yang aku bela, Elang atau keyakinanku.

Fani mendengus. "Gayamu itu, seperti sudah sangat mengenal Elang saja." Aku menghendikan bahu tak acuh. "Did you even know when his birthday is?" Saat aku diam mengerutkan dahi dia menyeringai menang.

Heartbeat⇝Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang