8thbeats

143K 7.2K 192
                                    

⌣«̶··̵̭̌·̵̭̌✽̤̥̈̊ Heart ✽Beat ✽̤̥̈̊·̵̭̌·̵̭̌«̶⌣

Dengan perlahan dia memasukkan anak kunci kedalam lubang dan memutarnya ke kanan. Setelah terdengar klik dua kali, dia mendorong pintunya terbuka dengan perlahan pula. Rumah itu bukan rumah tua yang jelek, jadi walau tidak hati-hati dan perlahanpun pintu itu tidak akan menimbulkan bunyi saat terbuka. Tapi orang itu menyukai tantangan dan pacuan adrenalin dalam dirinya ketika permainan kucing-kucingan ini berlangsung.

Awalnya dia berjalan biasa saja sampai kemudian dilihatnya siluet orang sedang tidur disofa panjang di ruang keluarga. Dia berjalan mengendap-endap dengan hati-hati layaknya pencuri menaiki tangga. Ditengah perjalanan dia berhenti, dia teringat sesuatu. Kemudian dengan salah satu senyum jahatnya dia kembali menuruni tangga dan berjalan ke dapur

Dia mencari sesuatu, apa saja asal bisa dia gunakan untuk menjalankan rencananya. Membuka laci dekat westafel dengan perlahan agar tidak membangunkan orang yang tidur di sofa, dia menemukan mangkuk plastik kecil berwarna merah, mangkuk yang biasa digunakan Bi Inah untuk menampung sambal kecap kesukaan ayah disana. Dengan senyum masih terukir dari bibirnya, dia menuangkan minyak sayur kedalam mangkuk itu sampai penuh.

Setelah itu dia kembali menaiki tangga. Pada lima anak tangga sebelum mencapai lantai atas, orang itu menuangkan minyak sayur tersebut disepanjang anak tangga kelima itu. Senyum licik itu tidak pernah pudar dari mulutnya. Setelah puas dengan hasil pekerjaanya dia tersenyum lebar membayangkan apa yang akan menimpa adik bungsunya nanti. Sebenarnya dia ingin tertawa, tapi mengingat ada seseorang yang tidur tidak jauh dari tempatnya berdiri dia memilih menahan tawanya sampai dia masuk ke kamarnya sendiri.

÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷

Seraphine ⇝

▔▔▔▔▔▔▔

♪Throw it away, forget yesterday

We'll make it the great escape.

We won't heard a word they say, they don't know us anyway ♪

Tanganku meraba-rapa meja disamping tempat tidur mencari ponsel yang alarmnya berteriak-teriak minta dibunuh. Merasa kesal alarm itu berbunyi semakin keras dan tidak bisa aku temukan di meja itu ataupun juga dimeja satuanya, aku bangkit terduduk dan celingukan seperti anak tersesat

.

Tentu saja aku ada di kamarku dengan lampu yang masih menyala terang dan tidak terlalu rapih. Alarm ponselku berbunyi lagi dan aku baru sadar kalau aku masih pakai baju yang kemarin jadi ponselku pasti ada didalam saku jaket.

Sambil menguap lebar aku mengeluarkannya dan mematikkan alarm. Aku kemudian melepaskan semua bajuku dan menggantinya dengan baju olahraga. Makanku banyak jadi aku perlu menjaga badanku biar tidak gembul dan tetap sehat dengan berlari minimal 1mil setiap pagi buta. Tentu saja kalau aku sedang tidak malas. Setelah menguncir rambut dan mengambil iPod, aku pun keluar kamar.

Rumah masih sunyi, lengang dan gelap seperti kuburan angker. Kecuali kamar bang Rag- loh? Aku segera berlari ke kamar itu dan mengetuk pintunya. Pintu terbuka dan nampaklah bang Ragil yang sudah rapih memakai peci, baju koko dan sarung .

"Loh? Bang Agil kapan pulang dari pondokan?" tanyaku heran.

Bang Ragil atau Agil, anak ke lima yang awalnya direncanakan sebagai anak bungsu keluarga ini (Yeah, aku dan Fani itu adalah 'kecelakaan ganda'). Tadianya dia satu sekolah denganku, tapi gara-gara patah hati dia mengagetkan semua orang dengan mengatakan kalau dia ingin sekolah di pondokan. Tentu saja mengagetkan karena sifatnya itu dulu 11/12 sama bang Adid. Mama sampai membawanya menemui psikiater. Tapi dia meyakinkan oraang tua kami bahwa dia baik-baik saja dan itu murni keinginannya. Jadilah dia dikirim ke pondok pesantren di Jogja dan jarang pulang. Tiga bulan disana dia berubah total , dia jadi super alim dan bicaranya sangat sopan. Bang Adid berteori kalau otaknya sudah di cuci , sedangkan mama sama ayah sih seneng-seneng aja ada salah satu anaknya yang bisa diteladani.

Heartbeat⇝Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang