detak ke-32

158K 8.1K 1.3K
                                    

Entah gue nulis apa. Ini sangat berbeda dengan apa yang gue bayangkan sebelum tidur itu ^^"

Selamat membaca...

⌣«̶··̵̭̌·̵̭̌✽̤̥̈̊Heart ✽ Beat✽̤̥̈̊·̵̭̌·̵̭̌«̶⌣

Seraphine ⇝

▔▔▔▔▔▔▔

"Sayang, dengerin Mama," Mama memaksa wajah sembabku menghadapnya, "jangan gangguin Fani, yah?"

"Aku ngga gangguin Fani, dia yang duluan nginjak-nginjak Gundamku!"

"Mama tau, tapi kamu seharusnya ngga membalasnya begitu."

Saat itu aku menyesal tidak membakar si Barbie sekalian. Kenapa aku hanya memotong kepalanya? Oh iya, karena Fani keburu menjambak rambutku dan melemparku ke dinding sampai kepalaku terbentur. Sampai sekarang masih nyut-nyutan aja.

"Mama selalu gitu. Selalu lebih belain Fani padahal dia yang jahat," aku kembali tersedu. Mama menatapku iba. "Mama pilih kasih! Kata Bu guru kita ngga boleh pilih-pilih kasih. Itu ngga adil, Mama."

Mama memberiku senyum redup yang membuatnya nampak sedih. "Begitulah orang tua, mereka selalu tau mana anak yang membutuhkan perhatian lebih dan mana anak yang kuat. Tidak jarang mereka harus berpihak pada ketidak adilan karena tidak ingin kehilangan satu orang anakpun."

Mama kembali tersenyum sedih dambil mengusap air mataku dengan ujung baju lengan panjangnya.

"Mama lebih sayang Fani dari pada aku."

"Itu ngga benar. Mama selalu menyayangi anak-anak mama dengan kadar yang sama."

"Mama selalu belain Fani walau dia yang salah."

"Karena Fani ngga tau mana yang benar dan mana yang salah. Ngga seperti Fina. Fina kan pinter."

Saat Mama tersenyum aku hampir ikut tersenyum, tapi aku menahan diri. Aku sedang ngambek, jadi aku tidak boleh luluh hanya karena sebuah pujian kecil. "Tapi Fani nakal, Mama... Nakal itu salah. Orang salah ngga boleh dibela," protesku, "tanya Ayah deh."

"Ya, Mama tau. Tapi tidak peduli betapa kacaunya anak-anak, orang tua akan selalu menyayangi mereka setulus hati," sambil mengatakan itu pandangan Mama menerawang tanpa fokus.

Mama kemudian tersenyum dan duduk berjongkok di depanku. Aku yang masih duduk di ayunan membuat posisiku lebih tinggi sehingga Mama harus mendongakan kepala untuk menatap wajahku. Aku tidak mengerti arti tatapannya yang lembut itu, tapi apapun itu membuatku tidak nyaman.

"Ingat ini; Mama selalu bangga pada Fina. Mama harus memberi Fani perhatian lebih karena dia membutuhkannya, bukan karena Mama kurang menyayangi Fina."

"Fina juga mau diperhatikan sama Mama," keluhku.

"Fina ngga membutuhkannya. Fina sudah seperti orang dewasa yang bisa melakukan apapun sendiri."

Aku mau protes bahwa semua itu aku lakukan karena terpaksa. Tidak ada yang mengikatkan tali sepatuku saat mau berangkat sekolah, tidak ada yang menyiapkan buku sekolahku sebelum tidur dan tidak ada yang membantuku membuat PR kecuali Bang Jake atau Kak Jonah sedang di rumah jadi aku mengerjakannya semuanya sendiri. Mama mengangkat telunjuknya agar aku tidak bicara.

"Apa Mama pernah melarang Fina melakukan sesuatu?"

Aku memikirkannya. Hm. Kecuali mencoba memasak pancake sendiri dan meluncur ala skating mengikuti Bang Adid menuruni tangga melalui teralisnya, sepertinya aku anak merdeka.

"Karena kepercayaan Mama ke Fina itu melebihi ini." Mama merentangkan kedua tangannya. ''Mama tau Fina bisa dipercaya."

"Fani ngga bisa dipercaya?"

Heartbeat⇝Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang