Null

4K 272 109
                                    

Diana diam sejenak. Masih dengan posisi mengangkang. Lalu ia menggerutu setelah sukses membasahi kasur busa lapuk berdebu, pemberian tetangga diabetes sepuluh tahun lalu.

"Kandung kemih sialan! Aku bukan anak kecil lagi!!"

Tak biasanya ia mengompol berlebihan. Otot liang ekskresinya memang tidak sekencang dulu. Senam kegel bahkan tidak lagi berguna untuk mengembalikan kekencangan pada daerah itu. Mustahil.

Lagipula Diana sudah tidak sanggup melakukannya.

Matanya memandangi gelas kaca di meja sebelah kanan. Telunjuk kurusnya masuk mengait dan mengangkat gigi palsu dalam segelas air yang tidak lagi jernih. Hap dan klak, tiga puluh dua gawai penggigit itu masuk tepat menuju titik koordinat masing-masing. Mulutnya bergerak-gerak menguji posisi perkakas pengunyah berusia sebelas tahun itu.

"Apa aku ini nyata? Ya, sebab aku bisa berpikir. Artinya aku ini nyata. Bodoh."

Gaun yang selalu dipakainya saat berada di rumah kini sudah tampak menguning. Tak pernah ia berganti pakaian sejak usianya empat puluhan.

Tak banyak sinar masuk ke kamarnya yang sudah tengik. Tak juga banyak pijar lampu dari dalam. Hanya satu. Kuning, hangat, dan menolak untuk hemat energi. Ratusan rongsokan kecoak mati tak pernah ia sapu keluar dari kamar kebenciannya. Mereduksi selera seni Diana yang dulu tinggi. Matanya masih saja ngilu memandang kegelapan. Kosong tak menarik.

Kegelapan itu duduk manis di atas kursi rotan bercat biru muda, melipat tangan dan memiringkan kepala pucatnya, seraya menyorotkan pandangannya kepada Diana dari tiga luka memanjang di kepalanya. Sosok kecil yang tinggal dan terkurung dalam kepala pucat itu pun ikut menatap dan mencibir Diana. Ia tetap sabar menunggu waktu yang tepat untuk keluar dari penjara jiwanya.

"Diana. Selamat ulang tahun. Lagi."

"Aku tak senang. Hidup ini selalu membenciku, Kegelapan."

"Jika begitu, mengapa belum menyerahkannya? Mengapa tak kau khianati saja musuh bebuyutanmu itu?"

Makhluk pucat berdiri dari kursinya. Beringsut mendekati lemari tua Diana. Ia bercermin.

"Kegelapan, kapan kau berhenti bertanya begitu?"

"Diana, kapan kau berhenti menarik ulur hidupmu? Bukankah kau bosan? Bukankah terlalu kejam dunia ini padamu? Katamu, kau begitu."

"Aku belum siap."

"Rambutmu sudah putih semuanya."

"Tapi, aku, sukmaku, belum putih semuanya."

Kegelapan hening. Mengalihkan pandangan menuju lukisan Crucifixion karya Salvador Dali yang menggelayut pada tembok lembap di belakang ranjang. Lama ia menatapnya. Tak lupa mengakhirinya dengan suara tawa serak.

"Aku sudah menawarkan diriku sejak kau masih kanak-kanak Diana."

"Ya, aku paham. Dan aku awas betapa gigihnya kau berjuang."

Kepala pucat Sang Kegelapan berputar 720 derajat.

"Dan betapa gigihnya kau menolak! Menyerahkannya adalah satu-satunya pilihan yang bisa kau ambil untuk menyelamatkan hidupmu."

Kegelapan kembali memandangi lukisan di tembok. Kali ini ia tertawa lebih keras sebelum kemudian mengubah suaranya menjadi tangisan pilu. Ia kemudian kembali ke kursi biru mudanya. Bersandar pada anyaman rotan dan mengusap lubang di wajahnya.

"Kau sedih lagi, Kegelapan?"

"Tidak! Diam kau, Diana!"

"Baik, nikmati waktumu. Aku akan tidur lagi."

"Oh tidak, Diana. Kali ini berbeda dari yang biasanya."

"Apa maksudmu?"

"Kita teman kan? Mari bermain sebentar, Diana."

Kegelapan memanggil rantai panas dari bawah tanah. Menembus bangkai-bangkai kecoak dan kisi-kisi tempat tidur lalu melingkari tangan Diana. Kegelapan menggosokkan kedua telapak tangannya. Dua bola api muncul.

"Diana, pilih satu. Bola biru atau kuning?"

"Hentikan main-mainnya. Rantai ini panas! Mengapa kau lakukan ini?"

"Dengar, Diana. Aku suka jiwamu. Jiwamu itu berbeda. Berharga dua kali lipat manusia lainnya."

"Hanya karena aku masih perawan tidak menjadikanku lebih bernilai dari orang lain."

"Ya, tapi menjadikanmu lebih kesepian dari orang lain. Kesepianmu menambah hargamu di mataku."

"Panas!"

"Yang mana, Diana... biru atau kuning?"

Kegelapan membuat rantainya makin membara. Kulit Diana mulai terbakar. Sosok kecil dalam kepala Kegelapan mulai menari-nari. Darah mengalir melalui tiga luka pada kepalanya.

"Kau mau membunuhku? Bukankah kita berteman?"

"Aku tidak punya kuasa untuk membunuhmu, Diana. Aku juga tidak perlu membunuhmu."

"Apa maumu?"

"Ah. Harusnya aku yang bertanya. Apa maumu, Diana, biru atau kuning?"

"B-Baik. Kuning."

"Kuning? Bagus, Diana. Bagus. Kau memang berharga."

Kegelapan melepaskan rantai panas itu. Kulit keriput Diana kembali seperti semula.

"Karena kau memilih kuning, akan kuberitahu apa sebenarnya hadiah yang hendak kuberikan padamu."

"Sejak kecil kau hanya menyuruhku memilih dan memilih, tetapi tidak memberi tahu apa arti tiap pilihan itu. Kau, dan orang-orang terdekat sudah membuatku kecewa. Aku menyesal dilahirkan di dunia ini."

"Diana, tidak ada orang yang memilih untuk dilahirkan. Kau tidak memilih hidupmu, melainkan mengikutinya."

"Cukup filsafat anehmu, Kegelapan. Apa yang ingin kau tawarkan?"

"Harta. Kuasa. Kebahagiaan."

Kegelapan, yang kini menggantung dari langit-langit kamar Diana, menaruh tangannya di belakang kepala untuk menunjukkan sikap lebih santai.

"Aku tidak bodoh, Kegelapan. Lima puluh tahun aku hidup sendiri sejak lari dari orang tuaku, dan tidak pernah aku kena tipu oleh siapapun, apapun. Terutama oleh materi."

"Apa yang salah, Diana?"

"Cukup. Jangan tanya dan jangan menyiksaku lagi. Kau sudah sering melakukannya. Bosanlah pada permainanmu sendiri."

"Baik. Kau tahu, aku menawarkan diriku, Diana."

"Apa?"

Leher Diana tiba-tiba serasa ditarik ke belakang. Ia perlahan terangkat dari tempat tidurnya. Sebuah kaki dian coba ia pegang untuk menahan diri.

Kini mereka berdiri berhadapan. Diana sejak dua menit lalu berada di bawah kendali Kegelapan.

"Kegelapan tidak bisa membunuhmu Diana... Tapi dapat mempengaruhimu."

Diana tak lagi bisa bersuara karena Kegelapan membungkam mulutnya. Kegelapan menarik benang dari udara. Dari transparan lama kelamaan terlihat berwarna emas. Kegelapan memakai benang emas itu untuk menjahit mulut Diana.

"Diana, selamat ulang tahun."

Sudah lama Kegelapan meminta Diana menyerahkan kendali atas hidupnya. Dengan raga sang Kegelapan sendiri sebagai hadiah utamanya. Tepat hari ini, di usia Diana yang ke-60, drama suram harus dimainkan. Kegelapan dan Diana menari melawan gravitasi. Mereka berputar-putar di udara dalam alunan sedih biola Niccolo Paganini. Kegelapan menelanjangi tiap sisi tubuh Diana menyisakan kulit, rambut, dan jahitan benang emas. Dari dalam kepalanya, Kegelapan memintal benang-benang putih halus yang ia gunakan untuk membungkus tubuh Diana yang sudah ia kendalikan.

Diana membatin namun tetap tak bisa bersuara. Hanya satu suara yang ia dengar. Tawa sosok kecil yang mengintip dari balik luka kepala Kegelapan. Air mata membasahi pipi keriputnya.

DEVOLVEDWhere stories live. Discover now