Eins

2.3K 195 66
                                    

Diana mencoba meronta tapi kegagalan yang ia temui.

Dara renta itu menggantung di tengah ruangan dalam citra kepompong putih. Ia juga tak kuasa menolak aliran deras kabut hitam pekat dari kepala pucat Sang Kegelapan yang masuk melalui mulut Diana yang menganga. Hawa busuk menusuk menyeruak dari kabut hitam.

Makhluk pucat tampak lunglai setelah mengosongkan isi kepalanya. Terduduk bahagia di atas renyahnya mayat-mayat serangga. Sang Kegelapan menengadah melihat kepompong putih Diana. Ia bisa merasakan ketakutan dara renta itu. Molekul feromon beterbangan ke atmosfer pirau di dalam kamar.

"Yang berikutnya akan jadi lebih menarik, Diana. Aku suka ini!"

Kegelapan dua kali menjentikkan jarinya. Empat denyut masif membeludak dari tubuh kurus Diana. Rambut putihnya keluar menembus jalinan rapat benang-benang putih dan turun menjuntai lemas mengikuti gravitasi. Setitik noda darah muncul dari area sekitar perut, lalu perlahan membesar. Warna merah membasahi kepompong Diana dan menyebar hingga mewarnai rambut putihnya. Darah menetes turun membasahi kasur lapuk di bawahnya.

Sosok Kecil dalam kepala Kegelapan sepenuhnya telah berpindah ke dalam kepompong. Menguasai tubuh dara renta dan mengeluarkan jeritan kejam setiap dua detik. Kegelapan menari sendiri mengikuti irama teriakan Sosok Kecil. Tidak ada unggas yang tetap bertengger di pohonnya. Semuanya berhamburan menjauhi aura jahat rumah itu. Mematikan.

Kegelapan semakin keras tertawa. Kepompong dan rambut Diana kini berubah hitam pekat. Begitu juga cairan kental yang menetes ke atas kasur. Hitam bak aspal panas.

"Tiga belas jam Diana, dan kekuatan itu akan jadi hal yang Kau syukuri. Kau inginkan."

Kegelapan menghisap hawa ketakutan di sekitar kepompong lalu melanjutkan aksinya. Kali ini ia menusukkan jarum-jarum kecil yang tumbuh dari jari-jarinya menembus kepompong putih itu. Tangannya secepat jarum mesin jahit listrik. Serpihan benang hitam berhamburan ke udara bak abu pembakaran jenazah.

Eratnya genggaman malam mengalah pada hujaman dan tikaman tawa Kegelapan. Menusuk-nusuk tubuh dan kalbu Diana yang masih bisa mendengar. Rasa sakit menjalar di bawah kulitnya. Perutnya panas bak tanur pelelehan baja. Ingin ia meronta. Jahanam.

Jeritan bising dari Sosok Kecil dalam kepompong makin keras terdengar. Menggulung naik tirai panggung kehidupan Diana yang sudah lama kehilangan penonton. Dan membuka kembali layanan tiket menuju ruang kosong hidup Diana yang kini sedang menerima suntikan-suntikan keji dan pedih.

Tiga belas jam kemudian, Kegelapan selesai memindahkan tiap inci kepompong ke udara.

Kulit dara renta terlihat hitam pekat. Kegelapan menurunkannya dari posisi menggantung terbalik, lalu membaringkannya di peraduan. Menyanyikan lagu tidur yang sendu. Namun, masih saja ia tertawa di tengah tembang suram itu.

Kegelapan berdiri di samping ranjang. Kamar kebencian itu bergerak menjauh meninggalkan Diana dan Kegelapan. Menyisakan mereka berdua di sana. Puncak kengerian gelap gulita.

***

Lalu lintas padat penuh makian di Glückstraße mengalir satu arah menuju menara jam raksasa Kota Fausteldorf. Bahana loncengnya merambat menembus lansekap bahkan menyelusup sampai ke perbukitan sepi tempat rumah Diana berpijak.

Makhluk baja bertangan satu asyik menggali peradaban dari bawah tanah mengikuti kendali penunggangnya yang memakai helm dan rompi kuning mengkilap. Gelas-gelas bir berdenting membuka pembicaraan manusia kelas pekerja. Meja makan berubah menjadi alas permainan kartu. Tangan-tangan cergas mulai mengocok dan membagikan Spielkarten usang.

Elang-elang botak berkumis Bavaria penghuni balaikota gusar menghadapi para Valkyrie dalam percincongan tanpa henti di ruang rapat pleno. Meski keputusan sok penting telah puluhan tahun mengisi lembaran naskah amendemen, belum terlihat adanya pengaruh berarti pada warga Fausteldorf. Aksi-reaksi sosiopolitik hanya berlaku jika lembaran uang membanjiri pundi-pundi robek Balaikota. Bak anggur Bukettraube yang merembes keluar dari kirbat tua.

Dentum katarsis membahana dalam sudut-sudut rumah ibadat. Tiap kepala tertunduk mendengarkan kaset rusak pendikte rasa bersalah pemberi jaminan keselamatan palsu. Jemaat khusyuk mendengarkan rekuiem pemasaran dari atas mimbar. Mendaftarkan cara-cara (i)rasional menyuap Tuhan jika ingin limpah berkat mengalir menuju kantong-kantong berlubang mereka. Sekiranya harta dan tahta dimakan ngengat, mereka langsung berubah pikiran dan angkat kaki mencari tuhan baru yang bisa dikendalikan seenaknya.

Tapi tak ada yang seliar malam Nenek Diana. Ikatan yang telah lama menanti parafnya kini menemui kata setuju. Kulitnya dinamis menciptakan gelombang-gelombang bengis. Saraf-sarafnya memperjelas makna rasa sakit. Pori-porinya membesar dan menguapkan kelembapan.

Dalam gelap, Diana merasa disentuh dari dalam. Ia masih kaku dan tak bersuara. Keriputnya terurai digantikan cangkang baru kulit mulus nan lembut. Daging-dagingnya gempal kembali. Tiap tendon mengencang. Tulang-tulangnya makin kukuh. Bibirnya merekah merah gelap seperti mawar yang direndam dalam tinta hitam. Masa muda menghantamnya seperti badai topan kategori lima. Menghancurkan citra dirinya yang lama. Sang putri jelita masih terbujur kaku dengan nafas tersengal. Sesak.

Diana memandangi Kegelapan. Kemampuan inderawi mulai kembali ia peroleh. Tak perlu berlama-lama, dara yang kini berwujud gadis muda itu mengambil posisi berdiri dan mengkonfrontasi postur tegak Sang Kegelapan. Hanya ada ruang selebar kitab kalkulus di antara mereka. Gestur-gestur kemarahan menyeruak dari manik mata biru Diana.

"Diana... Kau kupu-kupu yang cantik."

"Apa yang kau lakukan padaku?"

"Hadiah. Kau sudah memilih bola kuning. Dan inilah yang kau dapatkan."

"Kau menyuruhku mengulangi kehidupanku dari usia dua puluh lima? Sinting!"

"Ada sedikit perbedaan di sini, Frau. Kini, kau adalah manusia yang paling berharga. Paling berkuasa. Kaulah mesin penenun hujan yang akan membawa limpahan berkat bagi kota ini. Kau akan menulis ulang memoar milikmu dan menciptakan makna baru dalam diri. Koloni manusia Fausteldorf telah menemukan Ratunya! Oh bukankah ini menyenangkan?"

"Percaya padamu adalah hal terakhir yang itupun enggan kulakukan, Kegelapan. Aku ingin kembali menjadi nenek-nenek lalu mati dengan tenang!"

"Kontrak tidak dapat dihapus."

"Tapi tadi kau memaksaku!"

"Itu karena kau memaksaku melakukan ini!"

Kegelapan berubah ekspresi. Ia membelai rambut Diana dan memberinya ciuman lembut di kening. Jarinya menekan tuts-tuts kelembutan kulitnya. Kemudian, Kegelapan mengusap perut Diana yang telah membesar.

"Di dalam perutmu ada seorang anak. Ditakdirkan untuk membawa perubahan dalam hidupmu. Ia akan jadi pelindung bagimu."

Sang gadis berubah pikiran. Kenapa tidak? Toh ini baik adanya. Kecantikan yang sejak dulu disembunyikan dari khalayak ramai ibukota kini punya kesempatan untuk menantang dunia.

Diana berjalan menuju lemari tuanya dengan bertolak pinggang. Ngengat berhamburan ketika pintunya dibuka. Ia menarik satu gaun putih yang indah dan segera memakainya. Perut besarnya terlihat menyembul di balik balutan kain.

Kegelapan cukup puas melihat Diana berputar di depan cermin. Khusyuk mengagumi penampilan 'baru'nya. Senyumnya robek hingga ke daun telinga saat menyaksikan proses perakitannya telah selesai. Tangan Kegelapan teracung ke depan. Menunjuk lurus pada lukisan The Sower karya Vincent van Gogh. Tawa keji kembali ia perdengarkan. Diana menoleh pada Kegelapan dan menyuruhnya berhenti mengeluarkan suara aneh itu.

"Sekali lagi, selamat hari jadi, Diana Neumann. Kau sangat cantik. Sekarang, cepat bersihkan kamarmu!!!"

DEVOLVEDWhere stories live. Discover now