Fünf

410 61 27
                                    

Di penghujung pagi, Oliver meringkuk di kursi empuk teater nomor delapan dalam wujud remaja 17 tahun, tak berubah sejak kalahnya Kegelapan. Ia memutuskan untuk menghentikan pertumbuhannya, karena ingin berlama-lama menjadi remaja tangguh. Keheningan teater memenuhi kepalanya dengan prasangka. Oliver memegangi sebuah batu putih seukuran telur ayam yang dibentuk menjadi kepala serigala. Adolf memberinya benda itu sebagai oleh-oleh dari festival seni di pasar malam. Tangan Oliver mengelus benda itu, merasakan tiap sudut tajam pahatan yang kasar. Oh, betapa ia ingin punya serigala untuk dipelihara.

Telinganya menangkap suara dari belakang. Pintu teater terbuka dan Oliver berbalik untuk melihat Adolf yang melangkah masuk membawa beberapa kantung belanjaan berisi bahan makanan untuk seminggu. Adolf lebih mirip manusia gua dengan ribuan rambut putih membentuk janggut di dagunya. Oliver kemudian kembali ke dalam lamunan bersama batu serigalanya yang dingin. Kepalanya mendadak mengejang, ia terkejut akan suatu spekulasi tidak penting dalam pikirannya.

"Bukankah nama 'Adolf' berarti serigala?"

Dengan batu serigala dan sebelah mata terbuka, Oliver membidik Adolf yang berjalan tergopoh-gopoh memasuki teater tanpa membawa tongkatnya. Matanya mengikuti langkah Adolf tua yang malang, kesulitan menggerakkan tubuhnya sendiri. Oliver sudah lama mencurigai Adolf, sebab ada sesuatu yang aneh dengan pria tua itu.

"Kau tak membantunya, Nak?" Diana bertanya dari atas panggung. Oliver tak peduli pada Diana, dan tetap membidik hingga Adolf menaiki tangga dan hilang dari pandangannya.

Diana berkutat dengan tugas menyusun skenario pertunjukan di atas panggung. Minggu depan mereka akan mengadakan audisi untuk para pemain baru drama Alicia, berhubung tak ada satupun pemain tersisa selain Diana, setelah semuanya terbunuh oleh pesta gila Kegelapan.

"Hei, Oliver, kau mau ikut bermain drama?"

Oliver menggeleng. Ia segera berdiri, menepuk-nepuk debu dari pakaiannya, memasukkan kepala serigala mini ke dalam sakunya, dan keluar dari teater itu.

"Ada apa dengan anak itu? Apa dia marah padaku?"

Hari ini adalah hari penting bagi Oliver, ia akan mengikuti ujian masuk universitas tahap kedua. Di luar sedang ramai, banyak wartawan yang meliput keanehan yang terjadi pada teater tua. Seluruh warga kota sadar kalau teater itu hanya punya tiga lantai sehari sebelumnya, dan sekarang telah berdiri dengan empat lantai seolah ditumpuk seperti kubus-kubus gula.

Sebuah ledakan kembang api di langit membuat mata orang-orang menyipit. Buyar. Tak lama kemudian mereka membubarkan diri dan kembali pekerjaan masing-masing. Oliver membuka payung dan berjalan menembus kerumunan orang yang masih bertanya-tanya mengapa mereka berdiri di depan teater itu.

*************

Oliver sudah kembali dari ujian sesi pertama dan saat ini sedang menemani ibunya membaca buku di ruang keluarga.

"Kendali adalah candu," bisik Oliver.

"Dan darimana kau mengutip kalimat itu, Nak?" kata Diana yang sedang membaca Anna Karenina di sofa beludru kesukaannya. Ia bisa dengan jelas mendengar suara Oliver yang sedang duduk di lantai, bersandar dan melamun di samping sofa Diana.

"Kata-kata itu selalu pas untukmu, dalam hidup ini ataupun hidup sebelumnya. Kau tak bisa selamanya mengendalikan jalan hidupmu sendiri," balas Oliver sinis.

Diana memandangi rambut Oliver, tersirat sedikit penasaran dan kekesalan diredam di sana. Tangan mulus Diana meraih dan mengelus rambut anaknya.

"Hmm, kau bisa jadi penerus Spinoza, atau mungkin Kierkagaard. Teruslah berpikir dan buatlah kutipan-kutipan baru." Diana mengalihkan topik.

DEVOLVEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang