Sechs

393 49 20
                                    

Adolf Siebenkäs menunduk mengambil cerutu lowong yang menggelinding di bawah kursi gereja. Dengan putus asa tangan rentanya mencoba meraih sepotong surga Kuba. Oh, betapa dia ingin hentakan nikotin saat ini. Gusi dan bibirnya mulai gatal. Ia menunggu kalimat utama 'aku bersedia' selesai diucapkan oleh kedua mempelai sebelum akhirnya melangkah buru-buru ke luar gedung gereja dan menyalakan surganya sendiri. Asap putih mengepul, dan kesejukan mengalir deras dalam darahnya.

Dalam kepulan asap putih itu Adolf melihat dua bola mata menatap. Mereka pun mulai bersipandang.

"Kau akan mati tak bersisa kali ini jika berani kembali, Makhluk Pucat."

"Aku sudah lama tahu kalau kau sebenarnya bisa melihatku, Adolf. Aku juga sudah tahu rahasia kecilmu."

"Enyahlah! Kau sudah kalah, tunduklah pada yang mengalahkanmu!"

Mata itu terus memandangnya tanpa mengatakan sepatah katapun. Lalu, seketika mata itu menghilang disusul oleh batuk yang memecah dari paru-paru Adolf.

"Kau tidak apa-apa, Opa Adolf?" Pertanyaan Oliver yang tiba-tiba muncul membuat Adolf terdiam sejenak. Ia ditenangkan oleh dua tepukan lembut di punggungnya.

"Terima kasih, Oliver," Adolf tua tersenyum dan kembali menikmati cerutunya, "aku tidak tahu kebinasaan macam apa yang akan kami alami jika kau tidak ada."

"Aku akan terus mengawasi kalian berdua, tenanglah, dan berhentilah merokok. Ada kata sambutan yang harus kau ucapkan di dalam sana."

"Oh, astaga. Aku lupa."

******

Pernikahan itu berlangsung normal di hadapan kamera-kamera bermerk Folica. Diana melempar buket bunga pada gadis bertangan buntung yang beruntung. Di sudut gereja berkumpul pria-pria hutan Fausteldorf yang sangat jarang terlihat di tengah kota. Undangan dari Dianalah yang membuat mereka mau repot-repot hadir. Terlihat para pria hutan membicarakan sesuatu, mereka tampak tidak suka pada Oliver.

Malam hari, lagi-lagi ribuan kilat kamera membanjiri ruang resepsi. Mereka yang terlalu peka cahaya bisa saja kejang jika melihat kilat sebanyak itu. Di luar hujan sedang lebat-lebatnya, dan di dalam politisi sedang sibuk dengan debat-debatnya.

"Oliver, kau mau pulang bersamaku? Malam ini aku sendirian di teater."

"Aku paham kalau Ibu dan lelaki itu tak ingin diganggu di malam pertama. Tapi, Opa, jangan lupa aku ini anaknya. Kenapa tidak Opa Adolf saja yang ikut tinggal di kediaman Krüger malam ini?"

"Oh, aku tidak bermaksud, Nak. Sebenarnya aku hanya ingin bicara sesuatu denganmu empat mata di teater nanti. Tapi, ya, dugaanmu tentangku ada benarnya. Menurutku pastilah tidak nyaman jika mendengar jeritan malam pertama mereka, sekecil apapun suaranya."

"Hmm, sebenarnya bukan itu maksudku, Opa Adolf. Ada hal lain yang kutakutkan terjadi di malam pertama mereka. Makanya aku ingin tinggal malam ini di kediaman Krüger, sekedar berjaga-jaga. Tapi ya sudahlah, aku ikut Opa saja. Mungkin saja firasatku salah."

"Maksudmu?"

"Sudahlah, mari kita pulang. Bukankah ada hal pribadi yang ingin kau bicarakan denganku?"

"Entah apa yang membuatmu bimbang, tapi baiklah, kita pulang sekarang."

Kuharap kau tidak menggunakan kekuatan bodohmu itu, Diana.

******

Di kediaman Kruger, Diana mendominasi malam. Pesta pernikahan yang baru saja dihelat kini disusul oleh perkawinan penuh hasrat. Geliat dua daging di atas surga syahwat memeras keluar minyak-minyak cinta yang menggebu. Victor bukanlah lawan yang sepadan bagi Diana, satu ronde sudah terlalu melelahkan untuknya. Namun, demi bini barunya Victor berusaha mengisi kembali kolam libidonya yang mulai kering. Diana memberi sedikit bantuan magis yang mengantar mereka menggeliat sampai pagi.

DEVOLVEDWhere stories live. Discover now