09: Apapun Yang Terjadi, Jangan Pergi

116K 6K 85
                                    

Dengan napas tersengal-sengal, Dimas memilih untuk duduk di lantai koridor sekolah. Jam segitu, sekolah sudah sangat sepi. Mungkin tinggal siswa-siswa yang melakukan kegiatan ekstrakulikuler saja yang masih tinggal disana.

Abby mengambil tempat di sebelah Dimas dan mengembuskan napas panjang.

"Kalah lagi deh."

Dimas tertawa pendek, tangannya mengelap keringat yang membasahi pelipis matanya. "I told you."

"Beli pulpy dong," perintah Abby.

"Harusnya aku yang nyuruh kamu beli..."

"Tadi kan Abby udah beli Coca-Cola..." protes Abby. "Haus nih."

Dimas mendecakkan lidahnya. Ia kemudian mengambil tasnya dan mengeluarkan botol minumnya. "Tinggal dikit, abisin aja." katanya sambil memberikan botol itu pada Abby.

Abby memandang Dimas ragu. Memang sih, dari kecil mereka sering berbagi barang satu sama lainnya. Tapi itu dulu. Sekarang mereka sudah remaja dan minum dari botol yang sama itu termasuk ciuman secara tak langsung, bukan? Abby agak geli membayangkannya.

"Nggak mau?"

Abby mendesah. "Nggak deh."

Dimas mengangkat bahunya, lalu memasukkan tupperware-nya kembali ke dalam tasnya.

"Kok nggak jadi diminum?" tanya Abby heran.

Dimas menaikkan sebelah alisnya. "We must suffer together."

"Idih bahasanya," Abby menyikut lengan Dimas. "We may suffer together, but we all die alone."

Dimas menatap Abby setengah kagum. "Bijak banget. Abby Teguh hahahaha."

"Itu lirik lagu tau,"

"Yailah udah dipuji juga." 

Abby tertawa kecil. Ia mengamati bola basket yang dipantulkan ke tanah berkali-kali oleh Dimas. Kemudian laki-laki itu memeluk bola itu ke dada.

"Kamu tau kenapa aku nggak suka bola basket?"

Dimas menggeleng.

Abby menonjok bola basket yang masih berada di tangan Dimas hingga bola oranye itu menggelinding jauh. Sebelum Dimas mengomel, Abby menambahkan. "Karena kemana-mana yang Dimas peluk atau pegang itu selalu bola basket."

Dimas terdiam sebentar dan bertanya. "Kode minta dipeluk?" godanya dengan senyum genit.

Abby mendesis sambil mendorong bahu Dimas keras. "Ogah."

Dimas mendengus. Laki-laki itu bangkit dan mengambil bola basketnya lagi.

"Kenapa Dimas suka sama Abby?" tanya Abby saat Dimas sudah kembali.

Dimas terdiam. Alasan ia suka pada Abby? Dimas sendiri tak yakin jawabannya. Sebab dari kecil, satu-satunya perempuan yang ia lihat di matanya cuma Abby. Hanya Abby yang menarik perhatiannya, yang membuatnya ingin menjaga gadis itu, yang membuatnya ingin memiliki Abby supaya gadis itu tidak dimiliki orang lain lagi.

Alasan ia memilih Abby dibanding gadis-gadis lain? Dimas tak pernah membayangkan kalau suatu hari nanti Abby akan menanyakan pertanyaan itu padanya. Dia sama sekali belum memikirkan jawaban apa yang tepat. Sebenarnya jawaban apa yang Abby inginkan?

Kedua telapak tangan Dimas posisinya menghadap—atau lebih tepatnya—menempel ke lantai, untuk menahan tubuhnya. Selama beberapa saat, ia bertanya kepada dirinya sendiri tentang jawaban itu dan setelah menemukannya, Dimas menatap Abby lurus-lurus.

"Because you're beautiful to me," jawab Dimas sambil tersenyum. "And you aren't beautiful to others."

Kening Abby berkerut seiring senyum di wajahnya menjadi semakin lebar. "Ngejek apa gimana nih? Maksud kamu aku jelek gitu?"

Dimas memberengut. "Aku nggak bilang kayak gitu. Kamu yang bilang sendiri."

"Sial banget," gumam Abby lalu memukul kepala Dimas dengan bola basket yang direbutnya dari tangan laki-laki itu. Akhirnya, Dimas cuma meringis sambil mengusap-usap kepalanya.

Sejenak, keduanya sama-sama diam. Sama-sama sibuk bergulat dengan perasaan mereka bahwa mereka bisa mencapai titik dimana hubungan mereka sudah mulai serius, bukan lagi dua orang sahabat yang 

"No, I'm lying." kata Dimas mengakhiri keheningan diantara mereka.

Abby menyelipkan rambutnya di belakang telinga. "Soal yang mana?"

"I love you because it's you." ucap Dimas jujur. "Dan Abby yang aku kenal punya senyum yang membuatku tertular ingin tersenyum juga setiap melihatnya."

Abby menunduk, menyembunyikan wajahnya yang mungkin saat itu sudah sangat merah seperti kepiting rebus.

"Karena itu aku minta sesuatu sama kamu."

Sontak, Abby langsung mendongak menatap Dimas sambil merengut sebal. "Aish ada maunya ternyata... yaudah sebutin. Sekalian taruhan one-on-one yang tadi."

Dimas menatap Abby. "Aku mau apa pun yang terjadi, kamu jangan pernah pergi dari aku. Aku mau kita selamanya kayak gini."

Raut wajah Abby berubah melunak setelah mendengar permintaan Dimas.

Aliran kehangatan tiba-tiba menyergap telapak tangan Dimas. Tangan Abby menggenggam tangannya. Dimas terkejut hingga hampir saja menarik tangannya, tapi tangan Abby dengan cepat menahannya.

Abby tersenyum. "I will never run away."

Mengapa genggaman tangan Abby selalu membuat Dimas merasa tenang?

Oh... mungkin karena rasa sayang itu.

*

Esoknya, Abby datang tepat pada bel masuk sekolah sudah berbunyi. Gadis itu cepat-cepat berlari menuju kelasnya tanpa menghiraukan orang-orang di koridor yang sempat ia tabrak.

Maunya, ia tidak menyalahkan Dimas gara-gara lama menjemputnya tadi pagi dan menyebabkan ia terlambat datang ke sekolah tepat waktu. Tapi kenyataannya memang benar begitu adanya. Yang harus disalahkan, ya, jelas Dimas. Untung saja gerbang sekolah belum ditutup setelah mobil Dimas masuk.

Saat tiba di depan pintu kelasnya, Abby memegang perutnya dan tangannya yang lain ia taruh di tempurung lututnya. Napasnya tak teratur.

"Wah, rajin amat, By, pagi-pagi udah olahraga." ledek Robby, salah satu teman sekelasnya yang gayanya melambai dan sedikit flamboyan. Abby balas menatap Robby dengan tatapan tajam dan membunuh.

Abby berjalan menuju tempat duduknya sambil tetap memegang perutnya. Rasanya ada yang menusuk-nusuk di dalamnya dan itu sama sekali tidak enak.

Mata Abby melebar kala ia menemukan orang yang dicari-carinya selama tiga hari yang lalu sudah menampakkan wajahnya di sekolah lagi. "Tammie?"

Dengan senyum semangat, Abby menempelkan pantatnya di bangkunya lalu memutar tubuhnya ke belakang karena meja Tammie berada di belakang mejanya.

"Kemana aja tiga hari ini? Kok nggak ada kabar?" tanya Abby cemas. "Gue telpon tapi hape lo nggak aktif terus. Dan bbm gue juga nggak ada yang lo bales."

Tammie memalingkan wajahnya ke arah lain, seolah ia tidak tahu kalau Abby ada di depannya dan sedang bicara dengannya atau tepatnya, pura-pura tidak tahu.

Abby menautkan alisnya. "Tammie!"

Yang dipanggil tidak menyahut, malahan memasang earphone di kedua telinganya. Abby menggebuk-gebuk meja Tammie layaknya tabuhan drum dengan melodi yang berantakan. Namun temannya itu tetap saja mengacuhkannya.

"Ih, bete!" suntuk Abby sambil berbalik menatap ke depan lagi sewaktu teman-temannya yang lain sibuk berlari menuju mejanya masing-masing karena pelajaran pertama hari itu akan dimulai.

Samar-samar, Abby mendengar suara Tammie yang terdengar hampir seperti bisikkan di belakangnya.

"Maaf..."

Cherry BlossomWhere stories live. Discover now