Farewell 2

128 13 0
                                    

Dita terperajat ketika sepasang tangan mungil itu mencoba meraih wajahnya yang basah. Ia menyentuh tangan itu, menempelkannya di wajahnya dengan perasaan campur aduk.
Kenapa ia menangis? Ia sendiri pun tak mengerti.

Apa yang ia tangisi? Bukannya seharusnya ia senang karena satu bebannya berkurang. Bukannya semua ini bukan hal baru buatnya. Kalaupun bukan karena itu, seharusnya ia senang karena Anna tak perlu lagi menderita. Harusnya ia senang karena sebentar lagi Anna akan hidup satu dunia dengannya.

Menjadi bidadari seperti impian semua manusia.

Tapi kenapa ia harus bersedih. Apa karena efek terlalu lama menjadi manusia? Atau karena mereka tak bisa lagi menjalani hari-hari singkat yang mereka lalui bersama. Atau... karena begitu Anna pergi dari dunia fana ini, ia tak lagi bisa mencintainya?

Dita sama sekali tak mengerti hal ini.

"Dit..."

"Aku tak tau An..." katanya setelah kebisuan sejak tadi. Seulas senyum kecut terukir di bibirnya. Amat sangat dipaksakan.

"Kupikir kau takkan datang lagi Dit. Aku benar-benar senang kau kembali"

"Begitu?" Kata Dita akhirnya melepaskan tangan mungil itu dari pipinya. Menggenggamnya erat. Mencoba berbicara sebanyak mungkin dengan gadis itu sebelum mereka benar-benar berpisah.

"Apa kau bahagia selama aku pergi?"

Anna mengangguk lugu. "Ayah dan ibuku duah kembali rukun. Apa yang selama ini kuinginkan sudah terwujud. Terima kasih sudah selalu mendukungku"

"Begitu"

"Tapi... meskipun impianku sudah terwujud, rasanya belum lkalau kau tak ada disini. Jadi... kumohon jangan pergi lagi"

Dita lagi-lagi hanya bisa tersenyum kecut menanggapi senyum yang teramat indah yang terbentuk dari sudut-sudut bibir mungil gadis itu. Permintaannya terlalu mustahil.

Karena begitu sahabatnya datang, mereka takkan pernah bertemu lagi.

Netra abu-abunya tiba-tiba menangkap sosok sahabat berwajah datar yang sekarang sudah berdiri di depannya, atau tepatnya dibelakang gadis itu. Ia semakin mempererat pegangannya pada tangan Anna ketika mendengar kata-kata yang keluar dari wajah sahabatnya itu.

"Maafkan aku, tapi sudah waktunya perpisahan Dit"

Dia mulai menghitung mundur. Bersamaan dengan tetesan darah yang mulai jatuh mengotori lantai.

Kindness Diary {Noir}Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ