Chapter 4

19.1K 697 27
                                    

          SINAR matahari menjelang musim dingin. Seperti apa rasanya? Aku menutup mataku, membayangkan hidupku yang sekarang bisa dikatakan sedikit bebas.

Teman bicaraku kini bukan hanya Jane, pelayan pribadiku yang cantik dan baik hati. Namun, Jace kini menjadi teman bicaraku yang asik dan pengawal yang overprotective.

Bila sebelumnya Jace hanya mengikutiku dari belakang ketika aku mengelilingi taman dan mengagumi satu per satu bunga yang tumbuh indah di taman ini.

Kini, setelah beberapa pasang mata yang diberikan pria kepadaku secara terang-terangan dengan maksud mereka sedang menggodaku, cukup membuat Jace murka dalam diam.

"Mau kopi?"

Aku membuka mataku perlahan. Tubuhku yang sudah nyaman dengan kursi kayu ini enggan untuk berdiri. Di sini benar-benar nyaman.

Jace menunggu jawabanku. Aku tak kunjung menjawab dan itu tentu membuat kesabarannya habis. Ia kembali bertanya. "Mau kopi, Amanda?"

Aku mengangguk pelan, masih dalam posisi dudukku. "Hmm... Terserah kau saja."

"Baiklah. Tunggu di sini dan jangan kemana-mana. Telepon aku bila ada yang mengganggumu," ucapnya dengan nada yang menunjukkan overprotectivenya semakin menjadi.

"Aku akan baik-baik saja," ucapku meyakinkan.

"Berjanjilah kau akan baik-baik saja. Kau tidak mau ikut?"

Aku menggeleng, "Aku sudah nyaman dengan kursi ini. Suasana di sini mengingatkanku pada Chris."

"Chris?" tanyanya dengan kening berkerut.

"Dari mana kau bisa mengenal Chris?" tanyaku dengan nada terkejut.

"Kau baru mengucapkan namanya. Aku tidak mengenalnya," ucap Jace datar.

"Hah? Kau serius? Aku mengucapkan namanya? Tidak mungkin."

"Aku serius. Kau mengucapkan nama Chris."

"Benarkah? Sudahlah lupakan saja. Dia hanya memori masa laluku," kataku lesu.

"Hmm... Kurasa dia sudah melupakanmu."

"Sepertinya begitu. Tidak usah membahasnya, kecuali bila kau ingin mendengar aku menangis di sini."

Jace mengangkat kedua tangannya dan menunjukkan kedua telapak tangannya ke arahku, menandakan kalau ia menyerah. "Baiklah, kau tidak mau ikut? Jangan menangis di sini, orang-orang akan mengira bahwa aku adalah seorang bajingan tak berguna yang hanya bisa melukai perasaan wanita."

Aku berpikir sejenak. Langit siang ini mendung, aku sudah duduk berjam-jam di taman tengah kota ini. Pepohonan yang rindang serta tanaman yang indah membuatku enggan meninggalkan tempat ajaib ini. Tapi apa boleh buat, sebentar lagi akan hujan. Lebih baik aku segera pergi daripada dihujam air es. "Baiklah. Aku ikut, setelah membeli kopi aku ingin pulang."

Jace mengangguk mengerti dan berjalan di sampingku. Ia tidak berkata apa-apa. Kami berjalan dalam diam, sibuk akan pikiran kami masing-masing. Tapi, berjalan di sampingnya membuat jantungku berdegup dua kali lebih kencang. Mendebarkan.

Pikiranku melayang entah kemana, aku sendiri pun tidak tahu karena sekarang aku sudah berdiri di sebuah toko yang menyebarkan aroma kopi. Jace mengajakku masuk, ia mempersilahkan aku berjalan duluan.

Aku masuk ke dalam Coffee Land, meski pun café ini bisa dikatakan memiliki ukuran yang kecil. Tapi suasananya hangat, membuatku ingin tinggal lebih lama. Tapi untuk saat ini, aku mengurungkan niat itu karena cuaca di luar mendung. Langit berwarna kelabu, sinar matahari yang tadinya menghangatkanku kini telah hilang.

When I See You AgainWhere stories live. Discover now