"Kau senggang sekali sepertinya?" sindir Perry saat Seth duduk di ambang jendela ruang klub sambil memainkan rubik di tangannya sedangkan Perry, Rae, dan Walden sibuk mengerjakan urusan administrasi klub.
"Tumben nggak ditelepon Melanie suruh jemput di salon," Walden ikut-ikutan meledek.
"Hpku kumatikan," jawab Seth singkat, kemudian lanjut memutar-mutar rubik itu ke segala arah.
"Hey, apa ini? Berduka pasca putus?"
"Kau dan Melanie putus?!" Walden dan Rae bertanya bersamaan.
"Iya, tadi Melanie melempar Seth dengan sekaleng susu diet dan alat pengencang perut."
Perry yang tadinya tertawa terbahak-bahak langsung berhenti tertawa saat melihat ekspresi wajah Walden dan Rae yang tegang. Begitu pula Seth yang langsung menyadari kejanggalan itu, langsung menatap mereka berdua dengan mata memicing.
"Kalian tahu sesuatu soal itu kan?"
"Jangan salahin Rae. Itu ideku," Walden menjawab cepat-cepat, takut Rae kena masalah.
Seth melempar rubiknya ke lantai lalu berjalan ke arah Walden dan melakukan hal yang tak diduga semua orang.
"Aduh! Apa-apaan sih!" Walden mencoba membebaskan diri dari pelukan Seth.
"Terima kasih, Bro!" Seth berkata dengan isakan palsu. "Terima kasih sudah membebaskanku dari iblis betina itu." Untung saja bukan Rae yang mencetuskan ide itu. Kalau iya, bisa-bisa Rae sudah melempar Seth keluar jendela karena mencoba memeluknya seperti itu.
"Kalau kau memang sudah sebal dengan dia, kenapa nggak putus dari dulu?" tanya Rae penasaran. Seth berulang kali menggerutu tentang betapa menyebalkannya Melanie, berulang kali bilang ingin memutuskannya, tapi tiap kali cowok itu mengeluh, keesokan harinya Melanie pasti sudah ada lagi di mobil Seth setiap kali Seth menjemput Rae untuk kuliah.
Ketiga laki-laki itu saling pandang lalu tertawa bersamaan, seakan-akan pertanyaan Rae terdengar konyol di telinga mereka. "Rae sayang, coba tanya Seth kenapa setiap bertengkar, mereka bisa cepat rujuk lagi?"
Rae tak menanggapi karena tahu ke mana arah pembicaraan mereka. Dia memasang headphonenya dan mengeraskan volume lagu yang diputar melalui laptopnya. Suara ribut para laki-laki itu langsung menghilang ditimbun lagu kesukaannya. Begini lebih baik, pikirnya. Ketika dia membuka-buka kembali data anggota baru klub anggar, tangannya berhenti pada halaman ke tiga. Ada yang menarik perhatiannya di halaman tersebut sehingga membuatnya mematikan total lagu yang sedang ia dengarkan.
"Ada yang ingat Deion Kay?" tanyanya pada mereka bertiga. Rae yakin ia bukan satu-satunya yang mengingat cowok itu. Tubuhnya tak terlalu tinggi, pipinya ada sedikit bercak, rambutnya berjambul berwarna pirang keemasan dan di hari latihan perdana cowok itu membantu Rae merapikan berkas-berkasnya yang tercecer di lantai. Tapi bukan itu yang membuat Rae mengingatnya. Di antara para anggota baru, Deion adalah yang paling cepat belajar. Kemampuan anggarnya berkembang pesat setelah latihan one-on-one dengan Seth. Bahkan Seth sendiri yang bilang kalau anak itu akan siap masuk turnamen tahun depan.
Seth melompat ke sofa di depan Rae, wajahnya tampak senang mendengar Rae menyebut nama Deion. "Si kikuk itu? Ada apa dengannya? Aku tak sabar melatihnya lagi." Cengiran Seth memudar ketika melihat Rae menatapnya tanpa suara. "Ada apa dengannya?"
Rae membalik laptopnya dan menunjukkan layarnya pada Seth. "Dia kemarin mengajukan pengunduran diri."
Seth menatap layar itu dengan seksama, tak mau mempercayai apa yang ditunjukkan Rae. Perry dan Walden saling lirik, mereka pun tak percaya. Wajar saja, mengingat Deion sangat bersemangat setiap kali datang latihan. Bahkan dia yang selalu mengingatkan Seth kapan latihan selanjutnya, sampa-sampai Perry menutup wajahnya dengan tudung ponchonya agar cowok itu diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
En Garde!
Teen Fiction[Tamat] Seth menemukan bakat anggar Rae saat gadis itu mengalahkannya bermain Foil di Westcoustine Tea Party. Mereka berdua pun menjadi tak terpisahkan. Lebih tepatnya, Seth selalu membuat onar dan Rae selalu jadi yang membereskannya. Perlu waktu 5...