"Ada yang tahu di mana Rae?"
Seth menghambur siang itu masuk ke ruang klub dan membuat Deion, Perry, serta Walden kebingungan dengan wajahnya yang penuh cemas. Hari ini sudah terhitung tiga hari Rae menghilang setelah pagi itu dan hal itu membuat Seth khawatir setengah mati. Bagaimana tidak? Baru saja mereka bercinta, Rae mendadak lenyap begitu saja.
"Dia nggak nampak dari tadi," jawab Walden yang dari pagi tadi ada di ruang klub untuk menyelesaikan urusan administrasi turnamen. "Sudah kau coba hubungi—"
"Nggak ada respon. Telepon, sms, chat—apapun itu."
"Bukan. Maksudku hubungi Sawyer. Aku tahu kau pasti sudah coba menghubungi ponselnya."
Seth terdiam. Ia menatap Walden sejenak lalu membuang pandangannya. "Kau saja yang telepon Sawyer."
Seperti seekor serigala, mata biru Walden langsung memicing dan hidungnya mencium sesuatu yang tidak beres. "Ada apa sebenarnya?"
Seth melihat sekelilingnya. Mereka bertiga menatapnya menunggu penjelasan—Walden melipat kedua tangannya, Perry memutar-mutar gagang Epee-nya, dan Deion sampai berhenti mengunyah apelnya. Merasa tersudut, Seth duduk di atas meja, menarik napas, lalu mulai bicara, "Rae...tidak pulang malam itu."
Perlu beberapa detik bagi mereka bertiga untuk mencerna apa maksud Seth dan Perry adalah yang pertama bereaksi. "Dari semua cewek yang bisa kau tiduri dan permainkan, kenapa HARUS RAE?!" Epee Perry sudah teracung ke dada Seth. Kalau saja itu pedang asli, pasti sudah menembus ulu hati Seth.
"Seth, kau—kupikir kau bisa berpikir lebih dewasa lagi—" Walden hanya bisa menutup wajahnya, tak habis pikir dengan kelakuan sahabatnya. Hal yang ia takutkan selama ini terjadi juga.
"Whoa, tunggu dulu..." Seth menyingkirkan ujung Epee Perry perlahan dari ulu hatinya. "Malam itu mobil Rae mogok, jadi dia tinggal di kamar itu dulu—"
"Dia melihatmu bercinta dengan pelacur itu?—"
"Wanita itu sudah kuminta pulang sebelum...kalian tahu..."
Mereka bertiga hanya mengerjap. Tak ada yang tertarik dengan topik apa yang sudah ia dan Jasmine lakukan.
"Intinya, awalnya aku dan Rae hanya duduk main X-box, mengobrol, lalu...semuanya terjadi. Aku berani sumpah, aku nggak berniat untuk mempermainkannya. Aku justru ingin serius dengannya."
Walden mendengus sinis. Ini kesekian kalinya ia mendengar kalimat terakhir itu meluncur dari mulut Seth.
"Kali ini aku benar-benar serius. Malam itu adalah malam terbaik yang pernah ada dan aku—"
Bosan melihat Seth mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya pada Rae, Walden mengambil ponselnya dan memutuskan untuk membuat panggilan. "Halo? Sawyer? Ini aku, Walden." Kemudian Walden berjalan agak menjauh dari mereka semua. Setelah beberapa saat bicara, Walden kembali dan berkata, "Sawyer bilang Rae ada bersamanya, jangan khawatir. Tapi..." Walden memutar-mutar ponselnya di tangannya, kemudian melanjutkan, "Sebaiknya nggak usah mencoba menghubunginya dulu. Nanti dia kan muncul sendiri."
"Nanti dia akan muncul sendiri? NANTI DIA AKAN MUNCUL SENDIRI?!"
Seth membanting pintu ruangan dengan keras. Kekhawatirannya berubah menjadi kekesalan yang luar biasa. Apa Rae menyesali keputusannya? Apa Rae marah pada Seth? Apa Rae menceritakannya pada Sawyer dan Sawyer mencegah adiknya untuk berhubungan lagi dengan Seth? Apapun itu, hanya menjadi anti klimaks curam dari apa yang mereka lalui malam itu. Lebih baik cewek itu menampar wajahnya keras-keras daripada harus lenyap tanpa kabar seperti ini.
* * *
Seperti kata Sawyer, dua minggu kemudian Rae mendadak muncul di ruang klub. Wajahnya nampak lebih lelah dari biasanya, dress katun pendek yang ia kenakan kusut di berbagai sisi, dan rambutnya dikuncir kuda asal-asalan.
"RAE!" teriak mereka semua bersamaan, kecuali Seth. Rae balas tersenyum, namun ketika matanya menatap Seth, senyumannya memudar. "Kemana saja? Kami menunggumu," Deion adalah orang pertama yang memeluknya, kemudian diikuti oleh Walden dan Perry. Seth tetap duduk di tempatnya tak bergeming.
"Maaf ya tak memberi kabar sebelumnya."
"Oh, ngomong-ngomong... Aku perlu tanda tanganmu untuk formulir peserta." Walden mengeluarkan satu map berisi berkas pendaftaran turnamen, mengeluarkan formulir untuk Rae, lalu menyodorkannya. "Ada apa?" tanya Walden, wajahnya tampak bingung saat Rae tak mengambil formulir itu.
"Tentang turnamen itu—aku ingin mengundurkan diri."
Gelas kopi yang dipegang oleh Seth tiba-tiba terjatuh dan membuat semua orang menoleh. Isinya tumpah, menjalar ke bawah sofa yang ia duduki, tapi ia tak berniat untuk memungut gelas itu. "Kau bercanda ya?" desisnya.
"Tenang saja, kau akan tetap main di foil," Deion berkata, mengira Rae masih marah karena Seth pernah memintanya untuk main di Epee.
"Aku serius dan aku benar-benar minta maaf. Tapi aku sudah menyiapkan beberapa nama untuk menggantikanku."
"Ada apa sebenarnya denganmu Rae? Bicaralah. Mungkin kami bisa membantumu."
Bukannya menjawab pertanyaan Walden, Rae mengeluarkan beberapa lembar amplop berwarna emas dan membagikannya pada mereka satu per satu. Seth membuka amplop itu dan menemukan sebuah undangan. Sampulnya berwarna ungu gelap dan ada pita emas di sisinya. Itu bukan hanya sekedar undangan, tapi undangan pertunangan Rae—
Dengan Arvin Ashcroft.
Seperti ada yang pecah di otaknya, Seth bangkit dan melempar undangan itu ke dalam tempat sampah lalu keluar ruangan sambil membanting pintu. Deion dan Walden menatap pintu itu dalam diam, sedangkan Perry berjalan mendekati Rae. "Rae, kau yakin?" tanyanya sambil menunjukkan undangan itu di tangannya. "Aku tahu pria itu dan—"
"Perry, aku pun tahu. Tapi nggak ada jalan lain, aku harus menghadapinya."
Setelah berpamitan dengan mereka, Rae berjalan kembali ke mobilnya. Namun saat ia hendak menuruni undakan halaman kampus, ia mendengar suara Seth di belakang kepalanya. "Permainan macam apa ini?" kesinisan laki-laki itu masih belum berkurang.
"Kau pikir aku mau semua ini?" Rae menatap mata Seth, mengabaikan rasa sakit di dadanya. "Aku mengalami malam terbaik dalam hidupku tapi lalu ibuku meneleponku dan mengatakan pertunanganku sudah ditentukan. Menurutmu, apa yang harus aku lakukan? Kalau kau jadi aku, apa kau masih bisa menatapku dan bilang 'maaf, aku ternyata sudah tunangan dengan orang lain' begitu?"
Rae merasa pandangannya kabur karena air mata sudah memenuhi matanya. Tapi ia harus tetap bicara walaupun suaranya mulai bergetar. "Dari awal aku sudah bilang, ini—kau dan aku—nggak akan pernah berhasil. Kalau kita memaksakan diri, kita hanya akan berakhir menyakiti satu sama lain. Tapi kau ingat apa yang kau katakan? Kau bilang semuanya akan baik-baik saja. Dan sekarang kau malah menyalahkanku?" Rae menggeleng, masih mencoba menahan tangis. "Ini nggak adil, Seth. Ini sangat nggak adil untukku."
Sebelum tangisnya benar-benar pecah, Rae berjalan cepat menuju mobilnya. Ia bisa mendengar Seth memanggil namanya beberapa kali, tapi ia tak sanggup lagi untuk menoleh. Seth berdiri di sana, masih menatapnya sampai ia dan mobilnya benar-benar menghilang.
* * *
Seth meringkuk di atas tempat tidurnya sendiri, menunggu rasa penyesalan itu sirna. Ia tahu, rasa penyesalan itu tak akan sirna. Penyesalan bukanlah noda di pakaian seragam yang bisa pudar atau bahkan lenyap dengan deterjen. Penyesalan seperti cermin retak. Kau bisa menambalnya agar utuh lagi tapi garis itu akan tetap ada di sana.
Seth tahu.
Ia hanya ingin menghukum dirinya sendiri. Sampai kapan? Sampai ia puas dirinya sendiri terpuruk semakin dalam. Selama bertahun-tahun, ia menyia-nyiakan keberadaan gadis yang paling berharga dalam hidupnya. Ia bahkan membuat gadis itu menangis—menangisi keputusannya menerima perasaan Seth.
Seth bangkit dan berjalan terhuyung menuju pintu kamar mandi. Sesampainya di depan cermin, ia menunjuk bayangannya sendiri. "Pecundang," desisnya, kemudian meninju cermin itu hingga hancur. Darah mengalir dari tangan kanannya, tapi tak ada rasa sakit sedikitpun yang bisa ia rasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
En Garde!
Teen Fiction[Tamat] Seth menemukan bakat anggar Rae saat gadis itu mengalahkannya bermain Foil di Westcoustine Tea Party. Mereka berdua pun menjadi tak terpisahkan. Lebih tepatnya, Seth selalu membuat onar dan Rae selalu jadi yang membereskannya. Perlu waktu 5...