Part Seven : Choose One ! Cakka or Alvin?

132 8 2
                                    

"Apa????" Nagaswara membulatkan matanya secara sempurna setelah mendengar keputusan yang baru saja diambil oleh Gabriel.
"Belum juga saya mendapatkan pengganti Ozy, kamu sudah memutuskan untuk mengundurkan diri dari project ini," kesal Nagaswara.
"Saya benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiranmu, Gab" kesal Nagaswara.
"SAYA GAK INGIN BEKERJA SAMA DENGAN OBIET!!" Gabriel penuh penekanan
"Ayolah please!! Untuk project ini saja!" Nagaswara menautkan kesepuluh jarinya
"Apa saya perlu bersujud padamu, Gab?"

"Gak perlu. Thank's!!" Kemudian Gabriel pergi begitu saja meninggalkan studio. Nagaswara tak dapat mencegah, ia hanya mampu menatapi langkah Gabriel yang semakin menjauh dari pandangannya.
—o00o—

Cakka menatap seseorang dari dalam cermin. Seseorang yang memang memiliki paras tampan namun sedikit pucat, bibirnya pun tak kalah pucat dari kulitnya yang sudah berupa seperti mayat hidup. Ia sedikit kaget ketika melihat luka pada lehernya yang sudah tak merah seperti sebelumnya, namun luka itu kini mengeluarkan darah berwarna merah tua secara sedikit demi sedikit dan ironisnya luka itu tak terasa sakit.

"TUUHAAAAAN. Apakah ini balasan untuk hambamu yang hina dan penuh dosa ini?" Cakka masih menatap dalam pada sosok yang berada didalam cermin itu. "Mah...." Cakka memandang sebuah poto wanita cantik yang ada di dinding kamarnya. "Apakah Cakka mampu untuk bertahan?" Air matanya tumpah. Kembali ditatatapinya luka itu yang telah memerah dan mengeluarkan darah yang lebih banyak dari sebelumnya, kini terasa sedikit pedih.
"Han .... loe dimana?" Cakka mengacak-acak buku yang terletak diatas meja belajarnya, semuanya berserakan di lantai. Mulai dari buku pelajaran, novel, tempat pensil, abum photo, bahkan batere jam weker pun tergelincir masuk kebawah tempat tidurnya.
"GUE BENCIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII" Matanya terpejam, air matanya semakin deras dan membasahi seluruh wajahnya.

Buk!!! Satu kepalan berhasil mendarat pada cermin yang beberapa menit lalu berhadapan dengannya. Cermin yang tadinya berbentuk ellips itu kini telah berubah menjadi serpihan-serpihan yang berserakan di lantai kamarnya. Akibat pukulan itu kini tangan kanannya mengeluarkan darah segar yang tak kalah merah dan segar dari darah yang keluar dari lehernya.

"Cakka !!!" Obiet membulatkan matanya secara sempurna. Ia segera masuk kedalam kamar Cakka yang sudah seperti kapal pecah.
"LOE GILA?" Bentak Obiet setelah berhasil menggagalkan niat Cakka untuk memasukkan serpihan cermin itu pada mulut pucatnya.
"Gak ada gunanya gue hidup." Cakka terisak.
"Cak! Lu masih punya TUHAN" Obiet segera mendekap erat tubuh Cakka, berusaha menenangkan.
"Gue emang masih punya TUHAN, tapi TUHAN gak sayang sama gue." Kini air matanya telah membasahi pundak Obiet yang saat itu hanya mengenakan seragam SMA.
"Gak Cak, gak!!" Obiet segera melepas tubuh Cakka dari dekapannya. Obiet memegang kedua pundak Cakka kemudian menatap kedua bola matanya begitu dalam.
"Kalau TUHAN gak sayang sama lo, buat apa dia memberi loe kesempatan untuk hidup?" Lanjut Obiet.
"Kesempatan hidup?" Sinis Cakka, lalu bangkit dari posisinya kini. "Kesempatan itu cuma nyiksa gue," lanjutnya.

Obiet terdiam. Ia tahu bahwa masalah yang sedang dialami oleh Cakka bukanlah masalah biasa. Ia bisa saja membantu Cakka asalkan Alvin yang menjadi korban. Semua ini benar-benar membuatnya bingung.

"Lalu apakah dengan mati dapat menyelesaikan semuanya?" Obiet kembali berbicara.
"Bisa" jawab singkat Cakka dalam posisi membelakangi Obiet.
"Kalau gitu, lo ikut gue sekarang!" Obiet meraih tangan Cakka dan menuntunnya menuju suatu tempat yang masih ada di dalam rumah Cakka.

Keduanya menghentikan langkah. Cakka menatap heran pada Obiet yang kini telah melepas tabung gas berukuran kecil yang sebelumnya menyambung dengan kompor gas.

"Lo apa-apaan?" Cakka berusaha menghindarkan wajahnya dari bensin yang berada pada genggaman Obiet, keduanya hanya berjarak 10 cm.
"Lo sendiri yang bilang kalau mati dapat menyelesaikan masalah. Sekarang kita mati bareng ya" Obiet tersenyum layaknya setan, sedangkan Cakka nampak ketakutan. Saat ini Obiet benar-benar berbeda dari Obiet yang biasanya, bahkan Cakka pun tak mengenalinya.
"Gue gak mau mati konyol" Cakka berhasil melepaskan bensin dari genggaman Obiet.
"Terus mati yang gak konyol itu mati yang gimana?"
"Mati sesuai dengan takdir," jawab Cakka.
"Termasuk mengakhiri hidup dengan memakan serpihan cermin juga?" Sindir Obiet.
"....." Cakka membisu.
"Janji ya, lu gak akan nekad lagi?" Obiet mengacungkan kelingkingnya.
"Gue janji" Cakka mengaitkan kelingkinya pada kelingking Obiet.
"Makasih ya" Cakka tersenyum, Obiet mengangguk.

Blade Of Brother (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now