4. Bencana

35.2K 2.9K 43
                                    

Fla Regina

Aku menyeka air mata yang perlahan keluar dari mataku. Orang yang tidak tahu pasti mengira aku sedang menangis. Padahal aku lagi mati-matian menahan biar tidak ketahuan lagi mengantuk, ujung-ujungnya mataku malah memerah, mirip seperti orang yang habis menangis.

Baru jam sebelas teng, perutku sudah lapar, kepalaku kosong, tidak bisa diajak berpikir lagi. Sumpah, aku bosan sekali.

Aku tidak tahu apa ini kebahagiaan atau derita bisa dipindahkan ke Kantor Cabang Pembantu yang baru buka beberapa hari ini. Bahagianya karena tidak perlu berurusan dengan karyawan-karyawan di cabang induk yang sebagian besar menyebalkan. Dimana aku terus dianggap anak baru yang selalu disuruh-suruh dan disalahkan atas segala masalah yang kadang tidak kumengerti. Deritanya mungkin lama-lama aku bisa mati bosan karena disini masih minim nasabah.

Tapi mungkin disini masih lebih baik karena yang pertama aku tidak perlu dijudesin Mbak Gea, diganggu Tio, dimarahin Mbak Merin, dipandang sebelah mata oleh nasabah karena statusku sebagai CS baru. Setidaknya disini lebih baik.

Monik malah lebih parah lagi, dia juga dipindahkan ke cabang baru, tapi letaknya di luar kota. Sepertinya aku dan Monik memang direkrut untuk dipindahkan ke cabang baru.

Aku mengedip-ngedipkan mataku, agar kantukku hilang. Semoga saja tidak ada nasabah yang melihat, nanti dikiranya aku CS genit yang lagi mencari perhatian. Eh, tapi dari tadi memang tidak ada nasabah kok.

Kalau saja CCTV sialan itu tidak pas mengarah ke mukaku, pasti dari tadi aku sudah tidur siang dengan sukses. Aku membetulkan dudukku. Entah berapa jam lagi aku akan tersiksa dalam kesepian seperti ini.

Mataku mengarah keluar, ada tukang es campur yang sedang jualan. Enaknya siang-siang seperti ini minum es campur. Mataku berputar kembali, OB kantor sebelah keren juga. Untung saja pintunya dari kaca transparan, jadi semua yang sedang di luar bisa terlihat olehku. Keren kali ya kalau tiba-tiba ada perampok bertopeng yang datang seperti yang sering diberitakan di TV.

Tiba-tiba seseorang mendorong pintu dan masuk dengan tergesa-gesa. Hampir saja security yang baru mau membukakan pintu ditabraknya.

Aku langsung siaga satu. Semoga saja make up-ku belum luntur. Belum sempat security menanyakan keperluannya, orang itu langsung menuju ke arahku. Duh, si Ibu!

"Selamat siang Ibu, dengan saya Fla. Silahkan duduk," kataku sambil berdiri dan menyodorkan tanganku buat salaman. Tapi, boro-boro si Ibu membalas salamku, dia malah langsung duduk.

"Maaf, boleh saya tahu dengan Ibu siapa?" tanyaku setelah kembali duduk.

"Vina," jawabnya dengan judes. Duuh!

"Maaf Ibu Vina, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku dengan nada ramah.

"Saya mau komplain, Mbak. Ini kartu kredit saya sudah beberapa bulan yang lalu saya tutup, tapi kok datang tagihannya lagi. Bulan lalu saya sudah telepon ke Customer Care, katanya nanti bakal dihapusin tagihannya. Tapi kok bulan ini datang lagi tagihannya. Yang benar mana sih, Mbak?" katanya berapi-api.

Pelan-pelan aku menarik nafas. Kunci menghadapi nasabah yang lagi marah, tidak boleh ikut-ikutan marah juga.

"Ibu Vina, mohon maaf atas ketidaknyamannya. Boleh saya pinjam kartu kredit dan KTP-nya. Saya bantu melakukan pengecekan dulu ya, Ibu."

Si Ibu mengorek-ngorek tasnya yang kutebak harganya pasti berkali-kali lipat dari gajiku, buat ngiler saja.

"Saya cek dulu ya, Ibu," kataku setelah menerima kartu kredit dan KTP-nya. Wajah si Ibu masih cemberut.

Flaga (Telah Terbit)Where stories live. Discover now