29. Suatu Ketika

23.6K 2K 72
                                    

Fla Regina

Aku menggosok-gosokan mataku dengan kasar. Entah kenapa air mataku tidak bisa berhenti. Aku tidak sedih, serius! Aku tidak sefrustrasi itu sampai harus sedih memikirkan Ian. Aku hanya kesal, kenapa bisa sebodoh ini dibohongi oleh Ian.

Awalnya aku berpikir mungkin Ian terpaksa melakukan ini semua, mungkin dia juga sebenarnya tidak mau. Tapi setelah melihat dan merasakan sendiri, aku mulai ragu. Sikap Ian yang penuh kemarahan tadi menunjukkan kalau dia bukan marah karena mengkhawatirkan aku yang tiba-tiba hilang. Tapi dia benar-benar marah karena ternyata aku tahu kebohongannya.

Berapa waktu yang terbuang sia-sia hanya untuk sesuatu yang berhubungan dengan Ian. Aku tidak pernah memikirkan akan seperti akhirnya, yang sering aku bayangkan jika aku dan Ian harus putus mungkin penyebabnya adalah masalah dengan mamanya yang tidak suka denganku. Tidak pernah terbayang sedikitpun kalau Ian akan membohongiku seperti ini.

"Kamu bodoh menangis buat orang seperti itu." Aku memalingkan wajahku menatap Aga yang berbicara dengan nada datar.

"Aku nggak nangis gara-gara dia!"

"Iya aku percaya," Aga menarik tanganku yang dari tadi kugunakan untuk menggosok mataku.

"Kita pulang," kata Aga tanpa melepaskan tanganku.

"Nggak mau!"

"Terus kamu mau kemana? Mau masuk ke dalam lagi?" tanya Aga.

"Aku nggak mau pulang ke rumah," kataku pelan.

"Ya sudah, kita pulang ke rumahku aja," sahut Aga. Aku tidak membantah lagi dan mengikutinya menuju parkiran.

"Maafin aku," kataku setengah berbisik. Aga menghentikan langkahnya dan menatapku tajam.

"Maaf buat apa?" suara Aga terdengar seperti menahan marah.

"Buat semua kekacauan yang terjadi," aku menundukkan wajahku, tidak berani menatap mata Aga.

"Lelaki sialan itu yang seharusnya minta maaf, bukan kamu!" Aga melepaskan genggaman tangannya dan kemudian membuka pintu mobilnya. Setelah itu dia membantingnya dengan kasar.

Aku hanya bisa terdiam sambil mengikuti Aga masuk ke mobil. Aku berjanji tidak akan menangis lagi sesakit apapun perasaanku, aku tidak akan menangis lagi hanya gara-gara Ian.

"Kamu lapar nggak?" tanya Aga tiba-tiba disaat beberapa menit hanya saling terdiam. Aku baru ingat dari pagi aku hanya makan sedikit dan tadi juga tidak sempat menyentuh makanan dan minuman apapun.

"Sedikit," sahutku pelan sambil menoleh ke Aga. Wajah Aga tidak seseram tadi lagi. Syukurlah sepertinya emosinya sudah stabil.

"Nanti di rumah masak aja, mama juga lagi nggak ada di rumah," kata Aga. Aku kira tadi Aga bermaksud menawarkan makan di luar, ternyata dia tetap saja lelaki menyebalkan yang tidak mau rugi.

"Malas," sahutku.

"Nanti aku bantu," Kata Aga. Aku melongo, tidak menyangka akan mendapat tanggapan seperti itu. Kenapa dia tidak memarahiku, ataupun mengomeliku seperti biasanya?

"Tadi katanya mau jemput mamamu di bandara," kataku mengalihkan pembicaraan.

"Mama baru pulang besok."

"Jadi tadi kamu bohong sama mamanya Ian?"

"Jangan sebut nama itu lagi," suara Aga terdengar menyeramkan.

"I...iya, maksudku kok tadi kamu bohong bilang mau ke bandara?"

"Terserah aku kan mau ngomong apa," jawabnya ketus.

"Aku nggak mau kamu nangis lagi gara-gara dia," Aga menatapku tajam.

"Kamu tahu, dia nggak berharga banget buat ditangisin. Dia bakal tahu akibatnya kalau berani muncul di hadapanku lagi," lanjut Aga. Aku bergidik ngeri. Saat ini sosok Aga seperti pembunuh bayaran yang siap membunuh siapa saja yang mengganggunya.

--

"Kamu jangan ganggu aku, sana pergi," usirku. Aku sedang membongkar isi kulkas di rumah Aga, siapa tahu ada bahan makanan yang bisa dimasak. Tapi Aga yang dari tadi mondar-mandir di dapur membuatku terganggu.

"Ini kan rumahku," sahutnya pendek.

"Iya, aku tahu. Tapi jangan ganggu aku dulu. Aku nggak bisa masak kalau kamu berkeliaran terus dari tadi."

"Ya sudah, aku duduk di sini aja," Aga kemudian mengambil sebuah kursi dan duduk diatasnya.

"Aku juga nggak bisa masak kalau kamu pelototin kaya' gitu terus," kataku geram.

"Kamu bisa masak nggak sih?" tanyanya dengan nada menyebalkan.

"Aku nggak butuh komentar, sana pergi," usirku sekali lagi.

"Anggap aja kamu sedang ikut kontes memasak, dan aku jurinya," katanya sambil tertawa mengejek.

"Kamu benar-benar menyebalkan!" Aku tidak memperdulikan lagi Aga yang duduk tidak jauh dariku. Aku sudah tidak mempunyai tenaga untuk bertengkar. Perutku sudah keroncongan dan sisa tenaganku hanya bisa digunakan untuk mengolah bahan makanan di hadapanku ini.

"Jangan lama-lama, aku sudah lapar," terdengar suara menyebalkan itu.

"Kalau lapar beli makan diluar aja sana."

"Mumpung disini ada yang gratis, ngapain repot beli diluar segala," sahutnya.

"Minum aja air putih banyak-banyak biar nggak lapar."

"Tukang masak aneh," katanya sambil mencibir. Apa katanya? Tukang masak?! Memangnya tampangku seperti tukang?

"Kamu berisik banget, aku nggak konsen jadinya," kataku kesal.

"Dasar amatiran," Aga menghinaku sambil terkekeh.

Aku mengupas bawang merah dan mengirisnya dengan kesal. Ditambah lagi tidak ada bahan makanan apapun di dalam kulkas ini membuat perasaanku tambah kesal. Hanya ada telur dan beberapa ikat sayuran yang sudah layu. Aku tidak bisa membayangkan jika isi kulkas di rumahku seperti ini, bisa-bisa kami sekeluarga terkena busung lapar.

"Jadi kamu mau masak apa?" Tiba-tiba saja Aga sudah berada di sampingku. Aku melotot menatapnya.

"Omelet," Sahutku singkat.

"Memang nggak bisa buat yang lainnya?" tanyanya mengejek.

"Salahin isi kulkasnya," aku mengambil pisau yang kugunakan untuk mengiris bawang tadi dan membawanya ke wastafel untuk dicuci

"Aduuuuh!" jeritku tertahan.

"Kenapa?" tanya Aga.

"Kena pisau," sahutku sambil berusaha menghentikan aliran darah yang keluar dari jariku yang terluka.

"Kamu ceroboh banget sih, kalau nggak bisa, kasi tahu. Nyusahin aja!" kata Aga sambil berlalu. Aku menghela nafas panjang. Antara menahan sakit dan kesal.

"Sini tanganmu," kata Aga tiba-tiba. Ditangannya ada kapas dan obat luka. Mau tidak mau aku mengulurkan tanganku padanya sambil menahan perih akibat lukaku.

Sekarang aku dan Aga berdiri berhadapan dengan Aga memegang tanganku. Aga menghentikan darah di jariku dengan kapas dan kemudian mengoleskan obat luka. Aku meringis menahan sakit.

"Makanya jangan banyak pikiran kalau lagi masak," katanya sambil membungkus tanganku dengan plester luka.

"Aku nggak lagi banyak pikiran!" protesku. Enak saja, pasti dia mau menghubungkan dengan kejadian Ian tadi. Aku menatapnya tajam.

"Diam dulu, aku belum selesai," omelnya lagi.

Saat Aga sudah selesai mengobati lukaku, posisi kami belum juga berubah. Aga masih berdiri sambil memegang tanganku dan aku masih bengong sambil menatap wajahnya.

Sedetik kemudian pandanganku terasa aneh, wajah Aga terlihat semakin kabur dan entah sejak kapan jarak kami semakin dekat. Aku tidak tahu kenapa kakiku terasa seperti terpaku di lantai, tidak bisa bergerak meskipun nafas Aga terasa berhembus di wajahku.

Sesuatu yang basah dan hangat menyentuh bibirku perlahan.

Sial! Aga menciumku!!!

--

Flaga (Telah Terbit)Where stories live. Discover now