5. Erlangga Yuda

35.8K 2.9K 73
                                    

Fla Regina

Sejenak aku menatap wajah yang muncul dari balik kaca mobil dengan tidak percaya. Hari ini nampaknya ketidakberuntungan sedang menguntitku.

"Baru pulang kerja?" ulangnya sekali lagi. Aku menarik nafas kesal. Memang kelihatannya aku baru pulang dari mana, dari kondangan?

"Iya," jawabku singkat.

"Mau bareng?" tawarnya. Dengan tegas aku menggeleng.

"Nggak, aku bisa pulang sendiri kok," kataku yakin.

"Mau hujan loh," katanya. Mau tidak mau aku menatap ke langit, awan sudah mulai menghitam dan kutebak beberapa menit lagi pasti akan hujan deras.

"Rumahku juga dekat kok," balasku tak mau kalah.

"Ya sudah kalau gitu, aku duluan ya," katanya. Aku kira Aga akan memaksaku untuk ikut pulang dengannya, sepertinya aku yang terlalu berpikiran buruk.

Titik-titik air tiba-tiba membasahi wajahku. Makin lama jumlahnya makin banyak. Aku menggeram kesal, kenapa harus hujan di saat seperti ini.

"Benar kan yang aku bilang, deras banget malah hujannya," kata Aga sambil tertawa mengejek. Aku mengutuk diriku habis-habisan, entah bagaimana caranya tiba-tiba saja aku sudah berada di dalam mobil Aga, setelah tadi aku menolaknya.

"Keringkan pakai ini," Aga mengulurkan beberapa lembar tisu kepadaku. Aku mengambilnya dan menyeka wajah dan tanganku yang basah terkena rintik hujan. Di luar hujan sudah turun dengan derasnya. Besok-besok akan kupakasa Aya untuk menjemputku setiap hari.

"Masih rumah yang dulu?" tanya Aga kemudian ketika aku sedang menenggelamkan diri menyesali nasibku hari ini.

"Dulu?" tanyaku bingung. Memangnya dia pernah tahu dimana rumahku.

"Iya, masih rumah yang sama dengan waktu kita SMA?" dia menjelaskan pertanyaannya. Aku berpikir keras, sejak kapan Aga tahu rumahku?

"Dari dulu nggak pernah pindah," sahutku. Aga mengganguk kecil dan kemudian menjalankan mobilnya.

"Sudah berapa lama kamu kerja disana?" tanya Aga di saat aku sedang melamun.

"Ohh...baru tiga bulan," jawabku. Pertanyaan basa-basi dan harus dijawab dengan basa-basi juga.

Sebenarnya terasa ada yang aneh dengan situasi ini. Aku tidak pernah membayangkan bisa duduk berdua di dalam mobil dengan Aga, orang yang pernah kubenci, ralat bukan pernah, sampai sekarang juga masih kubenci. Seumur hidupku aku baru dua kali berbicara dengannya, waktu menyatakan perasaanku dan saat ini. Menakjubkan bukan? Tapi, saat ini aku tidak sedang ingin bernostalgia.

"Kita sudah nggak pernah bertemu semenjak aku lulus, kamu nggak pernah keluar dari kota ini kan?" tanyanya kemudian. Aku menatap ke arahnya dengan pandangan heran. Ada apa lagi ini, aku tidak suka dia mau tahu tentang kehidupanku.

"Aku disini terus kok, kuliah juga disini. Kamu kali yang kuliah di luar," jawabku dengan malas.

"Hahaha...ternyata memang kamu sudah banyak berubah, kamu bahkan nggak manggil aku dengan sebutan kakak lagi," dia tiba-tiba tertawa dengan keras. Aku tersenyum masam, tidak ada yang lucu.

"Aku kuliah disini juga kok. Mungkin memang belum jodohnya buat bertemu kali ya," lanjutnya.

Untuk kesekian kalinya aku menarik nafas panjang sejak memutuskan untuk berada di dalam mobil Aga. Aku menyesali keputusanku menghindari hujan dan menumpang di mobilnya. Aku bukan grogi berada di dekatnya, aku hanya tidak tahu harus bersikap apa. Kami tidak pernah berbicara banyak. Dan sekarang tiba-tiba dia muncul, berpura-pura akrab denganku. Mengajakku berbicara, membuatku mengingat masa lalu itu dan menjadikan aku merasa sangat rendah diri.

Flaga (Telah Terbit)Where stories live. Discover now