10. Kabur

25.9K 2.4K 25
                                    

SUPRISEEEEEEE....!!!
Sambil pacaran, aku sempatin update loh hahhaaha... Selamat malam minggu, buat yang single ataupun yang double hihihi...

--
Fla Regina

Perlahan aku merasakan kakiku melangkah mundur dengan pasti. Mungkin seperti ini rasanya seperti di antara hidup dan mati. Ada banyak kemungkinan yang sudah terpikir di kepalaku.

Pertama, Aga sengaja menjebakku ke acara ini agar bisa bertemu dengan Mamanya Ian. Kedua, Aga tidak tahu apa-apa tentang aku dan Mamanya Ian, tapi dia mempunyai hubungan khusus dengan Mamanya Ian, rekan bisnis atau mungkin hubungan yang lainnya?

Ketiga, kalau sampai Mamanya Ian melihatku bisa dipastikan sebentar lagi hidupku tidak bakalan tenang. Keempat, kenapa aku masih sempat memikirkan kemungkinan konyol seperti ini sedangkan nasibku sudah sangat terancam.

Bodoh!

Tanganku sudah menempel di dinding, dengan gerakan kilat aku membalikan badanku dan melangkah dengan tergesa. Aku berharap tidak ada teriakan yang memanggil namaku. Syukurlah, nampaknya Aga tidak menyadari kalau saat ini aku sedang kabur.

Aku bisa merasakan nafasku yang naik turun dengan cepat. Pikiranku tidak bisa diajak bekerja sama, aku tidak tahu harus menyembunyikan diri dimana. Yang aku tahu, aku harus menghindar sejauh mungkin.

Aku terengah dan berhenti sejenak. Seketika aku baru sadar kalau aku sudah berjalan lumayan jauh dari gedung tempat acara tadi. Aku menemukan diriku sedang berada di pinggir jalan yang gelap dan sepi.

Mendadak keringat dingin keluar dari pori-pori kulitku. Aku takut dengan Mamanya Ian, tapi aku juga tidak kalah takut dengan tempat gelap dan sepi seperti ini.

Aku harus menghubungi Aya agar segera menjemputku. Dan ya ampun! Bukannya saat ini aku sama sekali tidak memiliki satu kontakpun di handphone yang dipinjamkan Aga ini. Sial!

Astaga, jangan sampai ada perampok saat ini, apalagi penculik! Tidak! Saat ini aku harus tenang, jangan panik. Tarik nafas dalam-dalam, hembuskan. Aku harus bisa berpikiran jernih. Tapi kenapa aku semakin takut ya? Gelap sekali disini, lampu jalan hanya menyala dengan redup, dan tidak ada satupun kendaraan yang lewat dari tadi.

Aku menggengam tas tanganku, meremasnya dengan gelisah. Sesuatu yang bergetar dari dalam tasku menyadarkanku. Buru-buru kukeluarkan handphone dari dalam tasku. Tanpa perlu melihat siapa yang meneleponku, aku langsung mengangkatnya.

"Tolong aku!" jeritku tertahan.

"Kamu dimana?" tanya suara di seberang sana. Sejenak aku mengatur nafasku yang memburu karena ketakutan. Aku jadi bingung, sebenarnya apa yang aku takutkan, bertemu Mamanya Ian atau berada di tempat gelap seperti ini?

"Kamu dimana?!" tanyanya lagi dengan nada yang semakin tinggi.

"Aku...aku...nggak tahu lagi dimana," aku sudah hampir menangis.

"Kamu masih di gedung?" tanyanya lagi. Aku menggeleng kemudian buru-buru menghentikan gelengganku saat menyadari tidak ada yang bisa melihatnya.

"Di luar gedung, di jalan raya, tapi...tapi disini gelap banget," sahutku.

"Balik ke gedung lagi!" perintahnya.

"Nggak bisa." Aku nggak bisa balik ke gedung, disana ada Mamanya Ian yang siap menerkamku kapan saja.

"Apanya yang nggak bisa?! Ya sudah diam disitu jangan kemana-mana!"

Aku tidak tahu apa ini keburuntungan atau tidak Aga akan segera kesini. Aku tidak mau memikirkan apa-apa lagi, aku hanya ingin cepat-cepat lari dari sini tetapi tidak kembali ke gedung juga. Antara Mamanya Ian dan tempat ini sama-sama menyeramkan.

Sebuah cahaya lampu kendaraan menyilaukan mataku. Mendadak aku terdiam saat melihat bayangan yang keluar dari mobil, jangan bilang itu perampok yang mengincarku. Nafasku terhenti sesaat.

"Kamu benar-benar kurang kerjaan, kurang luas apa lagi sih gedung baru kantorku sampai harus kesini segala." Aku memicingkan mataku sambil menajamkan pendengaranku.

Aga! Penyelamat nyawaku!

"Aku mau pulang," kataku sambil menahan tangisku yang hampir tumpah. Antara ketakutan dan bahagia karena berhasil diselamatkan. Diselamatkan?! Terserahlah, apapun itu, aku merasa benar-benar lega.

"Kenapa? Ada yang sakit?" tanyanya kemudian. Aku menggeleng sambil menghapus air mataku yang tidak tahu diri keluar dari mataku.

"Kakimu sakit?" tanya Aga lagi dengan suara penuh emosi. Mau tidak mau aku mengganguk. Mau bagaimana lagi, aku tidak punya alasan kenapa aku bisa menangis seperti ini. Tidak mungkin kan aku jujur mengatakan kalau aku terharu karena Aga telah menghilangkan ketakutanku.

"Pegang tanganku," katanya sambil menyodorkan lengannya padaku dengan nada yang masih tinggi. Aku menatapnya ragu. Kenapa sih harus marah-marah ketika menawarkan bantuan.

"Aku bisa sendiri," tolakku.

Aku membuka pintu mobil Aga sebelum dia menawarkan aku masuk ke mobilnya. Aku lelah dan sedang tidak punya tenaga untuk bertengkar dengannya.

Aga membanting pintu mobilnya dengan keras. Aku menahan nafas dan tidak berani memandangnya. Aneh. Apa dia marah denganku?

"Kamu marah sama siapa?" tanyaku memberanikan diri. Mendengar pertanyaanku, dia menoleh kearahku sejenak dan kemudian berkonsentrasi dengan mobilnya lagi.

"Siapa yang bilang aku marah," sahutnya dingin.

"Sikap kamu," jawabku.

"Aku kesal!" katanya dengan emosi.

"Sama aku?" tanyaku lagi. Aga langsung menatapku dengan tajam.

"Aku cuma nggak habis pikir apa yang kamu lakuin di tempat tadi."

"Aku...aku...tadi...," aku menghentikan ucapanku setelah menyadari Aga bukan orang yang tepat untuk mendengar yang sebenarnya terjadi padaku. Dia tidak perlu tahu apapun tentangku.

"Tadi ada yang telepon dan sinyalnya nggak bagus. Nggak sadar aku sudah ada di tempat tadi," jawabku asal.

"Lain kali jangan harap aku mau menjemputmu kalau kamu gitu lagi," katanya dengan nada tegas.

"Apalagi aku. Aku berharap ini terakhir kalinya kamu mengganggu hidupku," sahutku tidak mau kalah. Beberapa saat tidak ada satupun yang memulai pembicaraan lagi. Aga nampak pura-pura sibuk dengan mobilnya dan aku hanya bisa mengarahkan pandanganku ke depan.

"Mana handphone-ku?" tanyaku kemudian.

"Mana handphone-ku?!" ulangku sekali lagi karena dia hanya diam.

"Nggak bawa, ketinggalan di rumah," jawabnya enteng.

"Kamu pembohong!" jeritku dengan kesal.

"Aku sudah menuruti semua maumu, tapi kamu nggak menepati janjimu!" kataku dengan kekesalan yang sudah sesak di kepalaku.

"Pakai aja lagi handphone-ku."

"Nggak mau!" kulemparkan handphone ke arahnya. Aga berkelit dan menangkap handphone yang kulempar tadi.

"Kamu bakal nyesal karena menolak kebaikanku," dia terkekeh. Bersamaan dengan itu dia memberhentikan mobilnya di depan rumahku.

Dengan kasar aku mengambil kembali handphone yang ada di tangannya dan dengan tergesa-gesa membuka pintu mobilnya.

"Sampai jumpa besok," Aga melambaikan tangannya dengan senyumnya yang paling menyebalkan.

--

Flaga (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang