6. Tolong Musnahkan Dia

32.9K 2.8K 41
                                    

Fla Regina

Nikahi aku," pintaku dengan penuh harap. Ian yang sedang meneguk minumannya kemudian menghentikan aktivitasnya. Dia menatapku dengan bingung.

"Kamu nggak apa-apa kan?" wajah Ian terlihat cemas.

"Ian, aku serius," sahutku kesal.

"Kamu nggak pernah seperti ini sebelumnya," kata Ian. Aku mendengus kesal, apa salah aku minta dinikahi oleh pacarku sendiri.

"Kamu kan pernah janji kita bakal menikah kalau aku sudah lulus kuliah."

"Iya, aku ingat. Tapi sekarang keadaannya berbeda, kamu juga mengerti kan," Ian menyentuh tanganku perlahan. Aku menghela nafas panjang.

"Terus sampai kapan aku harus menunggu?" tanyaku. Ian kemudian tertawa.

"Jangan seperti itu, Fla. Aku nggak mau kamu yang mengemis untuk dinikahi, kalau waktunya tiba aku akan memperjuangkan kamu." Lagi-lagi aku hanya cemberut mendengar omongan Ian, selalu kata-kata yang sama.

"Aku ingin secepatnya, bukan menunggu saat yang tepat."

"Beri aku waktu buat menyakinkan Mama, Fla." Rasanya aku ingin menangis dengan kenyataan seperti ini.

"Kenapa tiba-tiba kamu membahas masalah ini? Biasanya kamu paling nggak suka kalau aku menyinggung soal ini," tanya Ian curiga. Aku kemudian menundukkan wajahku, menghindari tatapan mata Ian. Tidak mungkin aku jujur pada Ian saat ini dengan mengatakan ada lelaki gila yang tiba-tiba melamarku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana marahnya Ian. Ian akan cepat terpancing emosi jika itu menyangkut lelaki lain yang mendekatiku.

"Aku...aku cuma tiba-tiba kepikiran sampai kapan kita bakal berhubungan seperti ini, menyembunyikan semua ini dari orang tua kita."

"Bersabarlah, aku bakal berusaha," Ian kemudian menggenggam tanganku dengan erat.

Aku menyandarkan kepalaku di bahu Ian. Sudah lama sekali rasanya kami tidak seperti ini. Pekerjaan Ian yang tidak pernah habisnya membuat waktu untuk bersama menjadi berkurang. Kadang aku berpikir, mungkin Mama Ian sengaja menjauhkan kami dengan mengirim Ian menjalankan usaha mereka yang ada di luar kota.

"Besok mau langsung berangkat lagi?" tanyaku kemudian. Ian mengangguk sambil mengelus kepalaku.

"Aku masih kangen," bisikku lirih.

"Aku bakal sering telepon."

"Kamu sering marah-marah kalau di telepon," Ian tertawa mendengar perkataanku.

"Aku cuma nggak bisa jauh dari kamu," sahutnya.

"Terus kapan pulangnya?"

"Berangkat saja belum, sudah ditanya kapan pulang," Ian tersenyum.

"Jangan janji bilang bisa pulang tapi ujung-ujungnya kamu bohongin aku terus," kataku sambil cemberut.

"Iya...iya...asal kamu nggak aneh-aneh disini," Ian mengecup keningku sekilas.

"Sepertinya sebentar lagi Mama bakal datang, aku antarin kamu pulang ya," lanjut Ian. Aku menatapnya dengan tidak rela, baru saja bertemu sudah disuruh pulang.

"Aku pulang sendiri saja. Mama dan Papa sedang ada di rumah, aku nggak mau kamu bertemu mereka."

"Kamu marah?" tanyanya kemudian. Sejak kapan aku bisa marah karena keanehan hubungan kami ini. Dari awal aku memutuskan menerima Ian lagi, aku tidak pernah mempermasalahkan kalau akan seperti ini jadinya. Aku menggeleng sambil memeluknya.

"Aku antar sampai depan komplek aja ya," pinta Ian. Aku mengganguk dan belum melepaskan pelukanku.

--

Flaga (Telah Terbit)Where stories live. Discover now