9. Mimpi Buruk

28.6K 2.4K 24
                                    

Fla Regina

Aku tidak tahu apakah benar yang lakukan sekarang, menuruti permintaan Aga hanya agar handphone-ku dapat kembali. Sekali lagi aku menghela nafas kesal. Bagaimana tidak, Aga memaksaku menemaninya ke acara kantornya. Baiklah, sebenarnya bukan masalah yang harus dibesar-besarkan. Tapi, kalau aku harus berperan sebagai tunangannya, itu adalah masalah besar.

Kami saja tidak ada hubungan apa-apa, bagaimana bisa aku berperan sebagai tunangannya. Yang ada malah saat ini aku ingin dia dimusnahkan saja dari hadapanku. Tidak mungkin kan aku bersikap manis dengan musuhku.

Aku benar-benar tidak habis mengerti apa sebenarnya yang diinginkan Aga. Apa belum cukup dia menyengsarakan hidupku. Kenapa aku yang harus dipilihnya jadi korban.

Aku menatap pantulan wajahku di cermin dengan tidak bersemangat. Aku menepuk-nepuk bedak dengan asal-asalan. Semoga saja Aga akan malu karena telah memilihku untuk menemaninya.

Aku menarik baju dengan asal dari dalam lemari. Tadi Aga bilang bukan pesta, hanya peresmian kantor baru. Jadi aku tidak harus berpakaian formal bukan? Sepertinya cukup dengan dress berpotongan sederhana ini. Sebenarnya kalau bisa, aku malah ingin menggunakan jeans. Tapi, tentu saja aku tidak ingin mempermalukan diriku sendiri juga.

"Sudah," kataku singkat. Aga sedang menunggu di teras rumah. Dia menoleh ke arahku dan menatapku agak lama. Mungkin ada yang salah dengan penampilanku.

"Ayo," katanya.

Aku kira dia akan mengomentari penampilanku yang benar-benar minim make up dan pakaianku yang tidak cocok dengan acaranya. Tapi untunglah, Aga tidak ada berbicara apa-apa lagi sampai masuk ke mobilnya. Kalaupun dia mengomentariku, aku tidak akan segan-segan membatalkan rencananya.

"Acaranya mulai jam berapa?" tanyaku kemudian setelah beberapa menit kami hanya saling diam.

"Setengah jam lagi," Aga kemudian diam lagi. Sejak kapan Aga jadi irit bicara seperti ini. Biasanya dia selalu menghinaku dengan kata-katanya. Sudahlah, seharusnya aku bersyukur dengan Aga yang seperti ini.

"Kenapa kamu nggak ajak pacarmu aja?" tanyaku akhirnya. Entah kenapa aku tidak pernah tahan jika harus berdiam diri seperti ini.

"Mereka nggak mau," sahutnya. Mereka? Maksudnya pacarnya banyak? Sombong sekali.

"Kenapa juga harus aku yang diajak," kataku dengan kesal.

"Kamu bawel banget sih, duduk diam aja. Kalau perlu tidur juga nggak apa-apa," kata Aga dengan nada tinggi. Aku mencemberutkan wajahku. Baru saja aku mengira dia mendadak berubah, ternyata masih sama saja. Tetap menyebalkan!

Aga nampak berkonsentrasi dengan mobilnya. Aku menatapnya dari samping. Sepertinya beberapa hari ini aku tidak pernah memperhatikan wajah Aga dengan benar. Yang ada malah aku selalu menghindari tatapan matanya.

Baiklah, aku harus jujur ternyata Aga masih setampan waktu SMA dulu. Tidak banyak berubah dari wajahnya, selain bintik-bintik hitam bekas cukuran di dagu dan rahangnya yang semakin banyak. Struktur wajahnya juga terlihat lebih keras, benar-benar terlihat seperti lelaki dewasa. Dan matanya yang tidak pernah berubah, tajam dan seolah-olah bisa membius siapapun yang menatapnya. Ya ampun, sepertinya aku sudah gila! Bisa-bisanya memikirkan lelaki paling menyebalkan ini!

"Mau sampai kapan kamu melamun?" suara Aga membuyarkan lamunan sekaligus menyadarkan kalau saat ini aku sedang bersama makhluk paling menyebalkan di muka bumi.

"Lebih baik melamun daripada aku bicara kan?" aku mendengus kesal.

"Sudah sampai. Jangan bertindak bodoh, ingat peranmu," katanya dengan nada mengancam.

Flaga (Telah Terbit)Where stories live. Discover now